Lihat ke Halaman Asli

Menakar Kualitas Demokrasi Indonesia-Malaysia

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1415446072519453753

Kurang lebih 3 tahun lalu saya menghadiri sebuah seminar dengan Pak Dahlan Iskan sebagai pembicara. Terngiang di kepala saya saat kini sepenggal kalimat yang disampaikan oleh beliau. Beliau mengatakan bahwa:

"Apabila kita menilai kondisi Indonesia sudah sangat buruk rupa dan menilai negara tetangga-Malaysia lebih baik dari kita, kita keliru. Karena ibarat sebuah ruangan, Indonesia adalah ruangan tanpa karpet yang seluruh wajahnya sudah terbuka, kondisinya diketahui masa. Namun Malaysia bagaikan ruangan yang ditutupi karpet sehingga tampak luar terlihat rapih, tapi berbanding terbalik bila karpetnya dibuka."

Hal yang saya percaya adalah jika Bapak kala itu ingin membangkitkan rasa percaya diri seisi ruangan seminar agar tidak pesimis untuk terus membangun Indonesia. Tapi sekarang, pemikiran saya semakin terbuka. Mungkin saja Bapak benar..

Berangkat dari kejadian-kejadian pasca keluarnya UU Pilkada yang mengubah demokrasi langsung menjadi tidak langsung sangat heboh di luar sana. Mahasiswa, pakar tata negara, warga sipil lainnya, bahkan presiden pun bergeming. Demo mahasiswa sana sini, DPR dikutuk tanpa henti, media masa mengabarkan silih berganti. Kemudian, mari kita bertolak pada kebijakan-kebijakan Jokowi Presiden RI, pro-kontra terjadi. Bibit-bibit tidak sepakat disirami sampai subur. Poster-poster ajakan menjadi kontra bertebaran dimana-mana terutama di kampus mahasiswa. Masih banyak lagi tindakan-tindakan damai maupun anarkis lainnya yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat di negara ini.

Negara ini memang negara demokrasi, meski demokrasi yang berlebihan. Dengan munculnya berbagai fenomena tersebut, saya menilai inilah yang dimaksud Bapak, Indonesia sebagai ruangan tanpa karpet yang kelihatan kotor, porak poranda. Positifnya, kita yang sudah mengetahui segalanya, tinggal memberantas dan menyapu bersih kotoran-kotoran yang ada.

Berbeda dengan Malaysia, rakyatnya cenderung tidak tahu masalah apa yang sedang terjadi dengan negaranya. Bukan karena acuh tapi karena akses untuk mengetahui itu sangat terbatas. Kemudian, sekalinya warga sipil ingin mengutarakan pendapat tentang pemerintah jika bisa langsung dibungkam. Kejadian ini mengingatkan saya pada cerita kakak saya yang sedang mengambil gelar masternya di Malaysia.

Suatu malam, kampus terlihat ramai berkumpul pada suatu area. Ternyata mahasiswa lokal mengadakan diskusi perihal kebijakan kampus. Rektor kampus baru saja diganti. Kabarnya beliau dekat dengan pihak kerajaan. Kebijakan barunya beberapa kontra dan menggerakan mahasiswa lokal angkat suara. Tapi, baru berkumpul saja sudah dijaga aparat dengan ketat. Akses masuk kampus ditutup untuk menghindari otak lainnya untuk menyemaraki demo ini. Mahasiswa seperti dibungkam untuk patuh.

Mungkin ini yang dimaksud Bapak. Seolah-olah negara aman-aman saja, layaknya karpet bersih tanpa apa-apa. Tapi ternyata di dalamnya banyak suara-suara yang dikurung tidak boleh lepas.

Saudaraku..
Ketika Indonesia sudah berbicara perihal demokrasi langsung / tidak langsung, bersyukurlah. Karena Malaysia masih berbicara perihal, 'bisakah kami bersuara?'




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline