Selama kita hidup di bumi bentala ini pastilah akan berdampingan dengan orang lain juga pun beragam entitas makhluk hidup di lingkungan sekitar. Kita akan selalu bertemu dengan konflik atau perbedaan kepentingan yang bisa menyebabkan semacam pertikaian.
Dalam kajian biologis, frasa survival of the fittest atau kesintasan yang paling layak, ini mungkin dapat sedikit menjelaskan kondisi tersebut dimana setiap individu berusaha bertahan hidup dengan caranya masing-masing. Selain hubungan antar manusia, konflik juga bisa terjadi antar spesies makhluk hidup, walau dengan nuansa yang berbeda dibanding saat pergesekan terjadi di tengah orang-orang.
Dari sudut pandang manusia, kita dapat mengkategorikan hasil dari interaksi dan konflik dengan makhluk hidup lain sebagai merugikan dan mengancam kelangsungan hidup, misalnya menyebabkan sakit penyakit. Sakit adalah kondisi saat adanya gangguan dalam fungsi tubuh yang membuat kapasitas bekerja tubuh kurang dari normalnya.
Penyakit bisa ditularkan dari hewan yakni disebut penyakit menular vektor. Bakteri, virus, maupun parasit penyebab sakit dibawa melalui vektor seperti nyamuk, lalat, kutu, kecoa, tikus, dan lain-lain. Sudah tidak asing kita dengan kesulitan yang muncul akibat infeksi penyakit menular, berkaca dari kejadian pandemi COVID-19 dan lebih jauh lagi dari sepanjang sejarah wabah penyakit di dunia.
Demam Berdarah Dengue (DBD) termasuk salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia hingga saat ini. Gambar di atas menunjukkan spesies nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, vektor atau hewan pembawa penyebab penyakit demam berdarah.
Virus dengue melakukan replikasi di dalam tubuh vektornya yakni nyamuk, secara spesifik di bagian ususnya, kemudian menyebar ke jaringan lain hingga ke kelenjar liur. Nyamuk Aedes betina yang menghisap darah manusia pasien DBD akan terinfeksi virus dengue dan akan menularkan virus tersebut pada orang lain. Di dalam tubuh selama 4-7 hari, virus kian menginfeksi sel tubuh di kelenjar limfa, sumsum tulang dan lain-lain sampai menyebabkan viremia dan kemudian gejala penyakit DBD dibarengi respon imun tubuh.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Pontianak, kasus penyakit DBD pada tahun 2023 hingga Desember tercatat 6.939 kasus dengan korban 77 orang meninggal. Terjadi kasus penyakit terbanyak di Kabupaten Kubu Raya sebanyak 1.153 kasus dengan 6 kematian pasien.
Akibat tren kasus penyakit yang meningkat sepanjang tahun tersebut, Pemerintah Kota Pontianak mengadakan rapat koordinasi dengan Dinas Kesehatan dan pihak terkait untuk kembali menggalakkan berbagai program penanggulangan seperti sosialisasi membersihkan lingkungan, gerakan 3M, fogging, pemberian abate, pemantauan larvasidasi dan jentik nyamuk.
Selama upaya yang dilakukan, salah satu hambatan pada program diceritakan oleh Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono terkait ketidaksediaan beberapa masyarakat untuk mengikuti program seperti fogging. Hal tersebut berhubungan dengan kesadaran masyarakat yang masih kurang tentang urgensi kasus penyakit DBD.
Selain karena itu, strategi pengendalian vektor termasuk secara kimiawi, biologis, dan manajemen lingkungan masih kurang efektif. Kendala teknis dari faktor ekonomi pendanaan, insektisida yang dipakai terkait resistensi dan presisi target, keberlangsungan program, serta surveilans maupun evaluasi pengendalian juga menjadi faktor hambatan yang ada.