Lihat ke Halaman Asli

Hidup ini Egois Sajalah

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Jika benar hidup ini adalah persaingan, fokuslah pada bagaimana kita mengoptimalkan kemampuan terbaik kita. Membuka kunci segala ketidakmungkinan. Mendaki terjal, menembus pembatas. Maka sejatinya persaingan itu ada pada diri sendiri. Menaklukan keterbatasan, kepuasan yang terlalu dini, perasaan ketidakberdayaan, dan segala mental block lainnya.

Cukup dikatakan PECUNDANG seorang yang mengisi persaingan hanya dengan menyibukkan diri memuja kehidupan orang lain, dan memanjakan diri dengan keterbatasan pribadi yang dielu-elukan."Saya memang orangnya begini, tidak bisa jika lebih dari ini.." "Saya memang tidak seberuntung mereka.. Ini memang nasib kehidupan saya.."

Jangan menjadi TUHAN. Merasa paling mengetahui padahal membatasi diri. Merasa bisa meramal seluruh kehidupan, padahal tak cukup punya nyali untuk memperbaiki?

Jangan mendahului ALLAH. Selama napas masih berhembus, selama itu pula kita miliki kesempatan melakukan perbaikan kehidupan. Melaju dan melesat.

Fokus pada kehidupan sendiri. Jangan terus menjadi penonton.

Perhatianmu pada dengki atau ucapan yang menyakitkan hati, hanya akan menguras waktu. Membobol pertahanan, tahu-tahu waktu telah berlalu dan kau belum melakukan apa-apa. Lantas tanyakan saja, apakah segala perhatian pada ketersakitan hati itu membantumu lebih kuat pendirian di hadapan lawan? Menjadikan diri lebih menawan? Kehidupan lebih maju dari sebelumnya? Ah, tak.

Fokus saja pada apa yang bisa kita lakukan dengan kemampuan terbaik yang dimiliki.

Kebaikan, sebelum ia berpengaruh bagi orang lain, ia pertama-tama menguntungkan bagi pelakunya. Maka EGOISLAH dalam beribadah. Kita melakukan ini dan itu, adalah untuk kebaikan diri di hadapan Tuhan. Melakukan kebaikan ini dan itu, adalah untuk menambah berat timbangan baik di akhirat nanti.

Saat manusia melakukan sesuatu atas tujuan kepuasan orang lain, itu sama saja ia "menyumbang", sedangkan dirinya sendiri fakir. Orang lain terpuaskan. Diri sendiri bangkrut karena tak mendapatkan pahala amal.

Di sinilah kita jumpai hakikat keikhlasan dalam hidup.

Ikhlas bukan sikap pasif. Apalagi sikap menyerah pasrah pada keadaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline