Hal ini disebabkan karena beberapa media massa cetak tidak dapat mengikuti perkembangan digitalisasi yang begitu pesat.
Namun, terdapat beberapa media konvensional dapat beradaptasi dengan perkembangan digitalisasi sehingga mereka menciptakan konten dalam bentuk online yang termasuk ke dalam praktik jurnalisme digital (Ashari, M., 2019: 2).
Ancaman Para Jurnalis
Digitalisasi yang berkembang dengan sangat pesat membuat para jurnalis mengalami tekanan.
Hal ini dikarenakan banyak jurnalis yang mendapatkan serangan siber yang menjadi ancaman kebebasan pers.
Selain itu, semakin berkembangnya digitalisasi yang diikuti dengan hadirnya banyak media sosial membuat para jurnalis semakin kehilangan eksistensinya.
Hal ini dikarenakan banyak masyarakat, khususnya anak-anak muda, seperti Generasi Y (kelahiran 1977-1994) dan Generasi Z (kelahiran 1995-2010) lebih memilih mencari berbagai informasi atau berita melalui media online, seperti Instagram, Twitter, dan TikTok (Candraningrum, D. A., 2021).
Hal ini mereka lakukan karena mereka menganggap bahwa media sosial jauh lebih mudah untuk diakses dan penjelasan terkait suatu fenomena jauh lebih mudah dipahami.
Hal ini juga didukung karena informasi-informasi terkait suatu fenomena yang dipublikasikan melalui media sosial lebih ringan, renyah, dan tidak memusingkan.
Walaupun informasi-informasi yang tersebar di media sosial dianggap lebih mudah dipahami namun, belum tentu teruji kebenarannya sehingga banyak masyarakat yang termakan dengan berita-berita palsu.