Pilpres Indonesia kali ini memang merupakan suatu topik yang sedang panas hingga sampai sekarang. Oleh karena berbagai teknik licin dan hype chasing yang dilakukan tim marketing pada sisi Prabowo-Gibran, beberapa orang mulai khawatir mengenai hasil asli pilpres.Walau memang cara memang cara mempromosikan diri dalam pilpres yang dilakukan regu Prabowo-Gibran memang legal dan sebenarnya boleh dilakukan siapapun, jika dilihat dari beberapa sudut pandang cara yang digunakan bisa dibilang tidak otentik dengan apa yang seharusnya dipromosikan seorang presiden kepada rakyatnya. Kali ini, artikel saya akan membahas sedikit mengenai teknik eleksinya Prabowo-Gibran dan bagaimana hasil promosinya berkemungkinan untuk meng-misinformasi para pemilihnya.
Masalah ini lebih berasal dengan media masa serta internet yang dapat digunakan sebagai alat untuk mempromosikan calon pemilu kepada masyarakat. Walau memang internet dan media masa dapat digunakan para calon presiden sebagai sebuah sarana untuk menyebar ide para calon atau pergerakan apa saja yang akan dibawa jika mereka benar-benar dipilih, Prabowo-Gibran mengambil teknik yang lebih bersifat "clout chasing" jika dilihat dari sudut pandang luar. Mereka telah melakukan banyak sekali teknik untuk membawa mata masyarakat ke arah mereka, mulai dari membuat trend baru di berbagai sosial media dan yang lebih unik adalah kampanye iklan yang tergantung berat dengan ilustrasi AI, sebuah rencana yang mungkin baru kali ini terlihat dilakukan secara masal dalam dunia politik seluruh dunia. Namun masalah utama yang diambil dari banyak orang mengenai teknik pemilu mereka bukan karena volume jumlah promosi yang keluar dari grup mereka(walaupun memang hal tersebut bisa dipermasalahkan dalam pada lain waktu), tetapi isi material promosi kampanye mereka. Mereka sangat sering tergantung dengan efek "FOMO" dan perjanjian untuk membuat perubahan yang sering dibuat hanya agar terlihat bagus dalam headline media masal untuk mendapatkan pilihan dari rakyat.
Jika dibanding dengan negara lain, terutama negara yang lebih maju dari pada Indonesia seperti wilayah Eropa Barat atau area Amerika Utara. Walau mereka memang tidak sepenuhnya bersih dari korupsi dan permasalahan partai, mereka tidak sepenuhnya mengandalkan FOMO dan teknik marketing untuk mendapatkan mosi dari warga sipil.
Beberapa dari rakyat yang menginginkan pemimpin yang kompeten pastinya akan merasa khawatir dengan teknik promosi ini. Saya tidak membuat teks ini untuk mengkritik cara pemerintahan Prabowo-Gibran untuk tahun kedepannya, kita belum sepenuhnya tahu apa yang dapat diraih kedua pasangan pilpres tersebut sebagai presiden/wakil presiden, namun bagi warga yang benar-benar ingin memilih calon pemimpin negara sesuai dengan kemampuannya sebagai politisi dan bukan dengan mencari cara untuk menggunakan event atau sensasi untuk mendapatkan pilihannya, akan ada beberapa orang yang merasa cemas mengenai masa depan pengaturan negara.
Warga zaman sekarang juga memiliki masalah mengenai cara mereka memilih calon presiden mereka. Walau tidak semua, ada jumlah orang yang cukup banyak yang memilih Prabowo-Gibran hanya karena perjanjian mereka yang hanya mencakup keinginan jangka pendek seperti program makan siang gratis dan program pembuatan tiga juta rumah.
Salah satu contoh dalam sejarah seorang presiden menggunakan emosi dan pamor untuk memenangkan pemilunya adalah Donald Trump. Selama waktunya pada masa eleksi, ia membuat banyak sekali perjanjian dan merancang sistem untuk pemilih eleksinya yang, hingga sekarang, belum sepenuhnya dilaksanakan atau sama sekali dilakukan sama sekali. Bukti yang paling dominan mengenai janjinya akan perubahan adalah dinding yang dibuat pada perbatasan Mexico. Trump menyatakan bahwa dinding tersebut dibuat untuk mengurangi imigran ilegal untuk masuk ke dalam wilayah AS untuk mencegah orang luar untuk mengambil pekerjaan milik warga AS, namun karena biaya yang sangat besar untuk membuat dan menjaga pada jangka panjang, serta sifat imigrasi ilegal yang sangat
rumit mengakibatkan proyek tersebut tidak berbuah dengan tujuan Trump. Ia juga sangat sering menggunakan gerakan partai republikannya untuk kepentingannya sendiri dan bukan kepentingan negara dengan membawa emosi kedalam politik, sehingga pengikutnya jauh lebih mudah untuk dikontrol dengan cara pemimpinannya.
Mengabai "kode etik" dalam pemilu untuk sejenak, cara menyebarkan ide ini juga cukup buruk untuk para warga yang ikut memilih Prabowo-Gibran seperti orang lain hanya karena ada banyak sekali poster, iklan, atau penyebaran lewat mulut. Bukannya memilih calon yang mereka rispek atau setujui secara ideologi, mereka hanya mengikuti impuls untuk tidak tertinggal dari rombongan dan pada akhirnya menyesal karena tidak dapat memilih calon yang benar saat pemilu sudah benar-benar diselenggarakan. Seperti seorang siswa IPTEK yang membeli sebuah laptop mahal dan bukan PC yang bekerja dengan baik. Hanya karena teman-temannya membeli laptop canggih agar bisa membuat program di universitas, sang siswa tergoda untuk menghabiskannya tabungannya untuk membeli laptop gaming untuk membuat temannya terkesan, walaupun laptop tersebut tidak bisa dibanding dengan rakitan PC yang optimal untuk pelajarannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H