Lihat ke Halaman Asli

Ida Bagus Suryanatha

Dosen/Asisten Ahli Dosen/Universitas Palangkaraya/Sosiologi

Dekonstruksi & Representasi Makna Suatu Bahasa (Kajian Sosiologis: Di Balik Bahasa Jaksel)

Diperbarui: 30 Mei 2022   06:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pembahasan mengenai Bahasa dan Makna dibaliknya adalah sebuah analisis yang wajarnya menjadi kajian panjang dengan tetap mengedepankan unsur realitas, rasionalitas dan definisi yang sesuai dengan kaedah Bahasa pada kontekstual yang tepat. Bahasa, baik pilihan kata maupun struktur gramatika, dipahami sebagai pilihan, mana yang dipilih oleh seseorang untuk diungkapkan membawa makna Ideologi tertentu. Ideologi itu dalam taraf yang umum menunjukkan bagaimana satu kelompok berusaha memenangkan dukungan publik, dan bagaimana kelompok lain berusaha dimarjinalkan lewat pemakaian Bahasa dan struktur gramatika tertentu (Eriyanto, 2011:15).

Menganalisa lebih dalam bagaimana Bahasa mampu membentuk dan membawa makna Ideologi tertentu bagi salah satu kelompok, hal ini selaras dengan salah satu daerah di Ibu Kota Jakarta, tepatnya Jakarta Selatan yang datang dengan membawa trend Bahasa Jaksel dan menjadi sebuah Bahasa yang merepresentasikan daerah tersebut. Dengan kata lain, Bahasa Jaksel memberikan penggambaran yang berbeda dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu, mengapa demikian? Faktanya, kurun waktu satu hingga dua tahun kebelakang Bahasa Jaksel banyak digunakan oleh seluruh masyarakat di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

Mengutip dari portal berita online Detik.com, Jakarta Selatan selalu menjadi pusat perhatian tersendiri khususnya  bahasa menjadi yang paling sering disorot dan melekat dengan Jaksel karena adanya pencampuran bahasa Inggris-Indonesia dalam percakapan sehari-hari. Sebut saja kata "which is", "literally", “healing”, “CMIIW” (Correct Me If I’m Wrong), “circle”, hingga "PAP” (Post A Picture), yang kerap dicampur dengan bahasa Indonesia.

Bahasa Jaksel tidak hanya menjadi alat komunikasi, tapi juga representasi culture. Oleh karenanya, secara tidak langsung bahasa juga dapat mencerminkan pendidikan, ekonomi, sampai pergaulan anak muda di era milenial saat ini. Selain Bahasa Inggris yang dicampur dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Jaksel juga memproduksi beberapa contoh Bahasa Indonesia yang secara pengucapan dan tulisannya juga berbeda dengan bahasa aslinya namun masih terdefinisi sesuai Bahasa aslinya, seperti contoh: “jujurly”, “mager” (Males Gerak), “mantul” (Mantap Betul), “PHP” (Pemberi Harapan Palsu), “Santuy” (Santai Cuy).

Alih-alih mendapatkan sebuah eksklusi karena dianggap Bahasa Jaksel merupakan Bahasa yang penuh dengan kesombongan, keangkuhan karena memadupadankan Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris, realita yang terjadi berbanding terbalik dengan opini-opini yang beredar, karena pada kenyataannya Bahasa ini merupakan Bahasa yang mampu menunjukkan kredibilitas seseorang hanya ketika bekomunikasi menggunakan Bahasa jaksel tersebut dan mendapatkann framing bahwa orang-orang tersebut adalah mereka yang update dan terpandang. Merujuk pada teori Bourdieu yang mempunyai korelasi dengan Ranah dan Modal Simbolis adalah Bahasa dan Sistem Simbolik sebagai Instrumen Dominasi yang dimana Bahasa mampu berperan sebagai relasi kekuasaan untuk melegitimasi keadaan simbolik dari individu (Fashri, 2014:119).

Dalam hal ini, Jakarta Selatan adalah sebuah ranah dimana disana memiliki sebuah potensi yang pada ahkirnya mendukung Bahasa Jaksel menjadi Bahasa yang penuh dengan dogma untuk membuat seseorang mengikuti bahkan mengaplikatifkan Bahasa tersebut kedalam kesehariannya. Masih mengutip dari Detik.com, empat hal yang menunjang Jakarta Selatan menjadi kota yang cukup menjadi bencmark dibandingkan dengan kota-kota lainnya, diantaranya; wilayah Jaksel didominasi oleh usia produktif, Jaksel dikelilingi oleh Instansi Pendidikan Taraf Internasional, Faktor Hierarkis (menunjukkan status sosial, pendidikan, kehormatan), banyak dihuni Kelas Ekonomi Tinggi.

Sejalan dengan hal tersebut, maka tidak heran jika Jaksel mampu menciptakan The Power of Abusing Language. Mengkaji lebih dalam dari pembahasan di paragaf atas bahwa Bahasa mampu memarjinalisasikan kelompok tertentu, maka berkaitan dengan salah satu Teori dalam ranah ilmu Sosiologi yaitu Dekonstruski dan Pragmatis oleh Jasques Derrida.

Menurutnya, Dekonstruksi bukanlah suatu alat penyelesaian dari suatu subjek baik individual/kelompok yang berinisatif dan menerapkannya pada suatu objek, teks atau tema tertentu, melainkan Dekonstruksi merupakan perubahan yang terus-menerus dan ini terjadi dengan cara yang berbeda untuk mempertahankan kehidupan, selain itu hal tersebut juga terjadi dalam sistem-sistem yang hidup termasuk Bahasa dan Teks. Oleh karenanya, Dekonstruksi bukan suatu kata, alat atau Teknik yang digunakan tanpa adanya subyek interpretasi didalamnya (Susanto, Wahyuni, dkk, 2020:78).

Dengan demikian, fenomena penggunaan Bahasa Jaksel ini memang perlahan namun pasti akan menguatkan beberapa aspek sosial, ekonomi bahkan kedudukan jika seseorang terlihat selalu mengucapkan beberapa Bahasa Indonesia yang dicampur dengan Bahasa Inggris, karena seperti yang sudah dijelaskan oleh paragaf di atas bahwa Bahasa merupakan instrument simbolik untuk melegitimasi sebuah kekuasaan dan memberntuk suatu representasi yang juga mengalami perubahan terus-menerus terutama bagaimana Bahasa Jaksel digunakan sebagai identitas seseorang yang berupaya membangun sebuah branding diri supaya terlihat mempunyai kredibilitas dan selalu update ketika bergaul.

Merujuk lebih mendalam, sebenarnya tidak ada yang salah dengan berkembangnya sebuah paradigma baru untuk mempergunakan Bahasa Jaksel sebagai modal simbolis seseorang agar terlihat berpendidikan atau menarik perhatian namun akan menjadi masalah ketika Bahasa tersebut dikonsumsi dan diimplementasikan yang justru menimbulkan misrepresentasi dan mengeksklusi individu atau pun kelompok tertentu. Hendaknya, sebagai masyarakat yang hidup di era internet inilah kita mampu memilih dan memilah bagaimana kita mengucapkan sebuah kata dan kalimat yang tanpa memarjinalkan kelompok tertentu dan tetap mengedepankan azaz fundamental sesuai dengan norma Bahasa Indonesia dan mengacu pada kebenaran yang absolut terhadap Bahasa itu sendiri tanpa mendeskreditkan makna dibalik Bahasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline