tunggulah aku, di Jakartamu.. tempat labuhan, semua rinduku.. "Jaga dirimu baik-baik". Seorang wanita dengan rambut panjang dan dikuncir kuda yang duduk di dalam gerbong kereta di depanku, mengangguk. Kereta semakin merambat laju, meninggalkan aku yang menatap jendela dimana sebelumnya tapak tangan kami menyatu, di antara selembar kaca jendela kereta. "Berjanjilah kau akan segera menyusul setelah semua urusan selesai? Kau sudah diterima bekerja di Jakarta, kan?". Masih terngiang todongan kata-katanya sebelum naik ke gerbong dan genggaman kami saling melepas, enggan. Pun lekat dalam ingatku, aku mengangguk, mengiyakan.
***
Kalau sudah mau pergi, kabari ya? Nanti aku jemput di Gambir. Jangan lama-lama. Bukankah kau sudah berjanji?". Aku mengangguk. Perempuan berambut pendek nan ikal itu tersenyum saat keningnya kukecup. Ragu tangannya terlepas dari genggaman tanganku. Sesaat, kereta berderak, melaju.
***
"Janji ya? Awas kalau kau lupa. Jangan lama-lama, aku kangen. Nanti kuajak jalan-jalan keliling Jakarta". Gadis itu merajuk. Tangannya masih dia lingkarkan ke lenganku. Aku mengangguk. Aku menowel hidungnya yang bangir sebelum akhirnya dia lepaskan pelukannya dan dengan lincah melompat naik ke atas gerbong kereta saat peluit semboyan 41(*) melengking panjang.
***
Seorang dara menyeret kopernya yang berwarna merah, tersenyum kepadaku. Senyumnya membuat matahari meluncur luruh di ufuk, terkesipu malu. "Jangan pernah berjanji. Hubungi aku bila kau sudah sampai di Jakarta" Aku memeluknya erat. Enggan dia melepaskannya sebelum naik ke bordes.
Sinyal menyala hijau. Ribuan kurcaci memutar tuas-tuas roda kereta, menderu serupa kuda-kuda yang terpacu. Berbareng derap langkah-langkah orang, meninggalkan peron yang riuhnya memudar, Stasiun aku tinggalkan.
***
Bulan demi bulan berlalu. Beribu tanya tentangku yang ditagih atas janji di ujung tangga kereta, tak pernah kujawab.
Jangan tunggu aku, di Jakartamu, itu bukan kota, kemana aku ingin menuju dan berlabuh.