Lihat ke Halaman Asli

Menunggu

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja luruh, bara mentari perlahan redup di ufuk, aku melihatnya masih saja duduk di situ.

Di bebatuan pemecah ombak. Menghadapi joran yang tak jua berkedut pertanda ikan memakan umpan. Sesekali dia menyisir rambut ikalnya perlahan. Anak-anak rambut yang mulai mengabu, semakin mengukuhkan kerut di raut wajahnya. Senja, senja dan usia. Angin darat semakin kencang bertiup. Dan saat malam semakin menua, hembusan-hembusan angin semakin menderu, mengantar nelayan ke laut nan jauh. Dia mendekap kedua tangannya di depan dada. Mencoba mengusir dingin yang perlahan menyusup ke dalam pori-pori, membuat gigil sendi-sendi. Seminggu ini selalu melihatnya setiap senja. Hampir selalu duduk di tempat yang sama. Dengan kail yang hanya terbuat dari bilahan batang bambu dengan benang nilon dan umpan yang tergantung lekat di mata pancing. Entah umpan itu terbuat dari apa, sepertinya dia selalu saja tak pernah berhasil membawa ikan-ikan pulang. Atau ikan-ikan yang terlalu sombong untuk memakan umpan sederhana yang dia buat? Aku tak pernah bertanya. Aku hanya duduk di dalam warung kopiku, memperhatikannya diam-diam. Dan tak sekalipun dia singgah ke warungku. Walau setiap menjelang senja dia melewati samping bilik warung, menerjang rerumputan,duduk di bebatuan, lantas melemparkan kail dan menunggu. Terlintas harap dia mampir ke warungku. Menyesap kopi dalam gelas hingga tandas sebelum bergegas. Sesekali bibirku hendak berucap, ingin menyapa. Terkadang pikirku ingin bertanya, mengapa hanya lewat? Tak hendakkah singgah dan bertukar sapa? Serupa air panas yang mencumbu kopi, menyeruakkan aroma kenikmatan ke udara. Namun itu tak juga aku lakukan. Aku hanya diam, memandangnya lewat, pun dia, menyisakan bayang yang berkelebat. Lantas ketika bintang mulai berkelip satu demi satu. Aku melihatnya bangkit. Menggulung benang pancing, menenteng kantong plastik kecil yang mungkin dia persiapkan bila mendapat tangkapan dan juga untuk membawa umpan. Berlompatan di antara bebatuan diiring ombak yang semakin deras berdebur. Kembali menerjang rerumputan, melewati samping bilik warung kopiku dan berlalu. Seminggu berlalu, dua minggu berjalan, tiga minggu terlampaui. Dia tetap seperti itu, melewati samping bilik warungku. Menerjang rerumputan, melompati bebatuan, melempar kail dan menunggu. Pun aku, terduduk diam dalam warung kopiku. Namun tak seperti dia yang berjalan, menerjang, berlompatan di antara bebatuan, melempar kail dan menunggu. Aku? Aku hanya memandang dan menunggu.

***** Sumber Gambar : Grass on Afternoon (Kawaliwu - Menunggu Keindahan Matahari Tenggelam) oleh Baktiar Sontani




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline