Lihat ke Halaman Asli

Nataya Khuria

Mahasiswa Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya (Universitas Airlangga)

Upaya Melindungi Warisan Budaya Tak Benda (Reog Cemandi) di Sidoarjo

Diperbarui: 30 April 2023   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sidoarjo adalah kabupaten yang paling dekat dengan Surabaya dan merupakan penyangga utama kota Surabaya. Batas Sidoarjo di sebelah Utara yaitu kota Surabaya dan kabupaten Gresik, di sebelah Timur yaitu Madura, di sebelah Selatan yaitu kabupaten Pasuruan, dan di sebelah Barat yaitu kabupaten Mojokerto. Secara geografis Sidoarjo terletak diantara dua sungai besar, yaitu Sungai Mas dan Sungai Porong sehingga Sidoarjo mendapat julukan sebagai Kota Delta.

Letaknya yang berada diantara dua sungai besar ini membuat Sidoarjo dianggap sebagai tempat yang strategis pada masa kerajaan Majapahit. Sidoarjo menjadi salah satu wilayah terpenting di zaman Majapahit. Hal itu terbukti dari adanya peninggalan-peninggalan pada masa Majapahit yang saat ini menjadi warisan budaya benda di Sidoarjo seperti Candi Pari, Candi Sumur, Candi Pamotan, dan Candi Dermo.

Selain candi ada pula warisan budaya benda berupa batik Sidoarjo. Batik Sidoarjo memiliki motif yang dibedakan menjadi dua, yaitu batik tradisional dan batik kontemporer. Beberapa motif tradisional memiliki misalnya beras utah, kembang bayem, kebun tebu, burung merak dan lainnya masih banyak diminati oleh masyarakat. Motif batik beras wutah ini menggambarkan bahwa Sidoarjo adalah salah satu tempat penghasil padi yang melimpah. Motif kebun tebu ini menggambarkan Sidoarjo terdapat banyak kebun tebu yang yang dulunya dikenal sebagai penghasil gula terbesar. Motif kembang bayem menggambarkan bahwa di desa daerah Sidoarjo sebagai penghasil bayam. Motif batik khas sidoarjo tersebut memiliki makna dan filosofisnya berkaitan dengan potensi maupun kearifan lokal daerah Sidoarjo. Sedangkan motif batik kontemporer terkait keinginan motif dari pembeli.

Sidoarjo memang terkenal dengan warisan budaya benda berupa candi dan batik. Bahkan beberapa candi yang ada di Sidoarjo sudah menjadi cagar budaya provinsi Jawa Timur. Sedangkan batik Sidoarjo sendiri sudah memiliki tempat pembuatan dan pengelolaan yang terkenal bernama Kampoeng Batik Jetis yang saat ini menjadi wisata heritage di Sidoarjo. Sehingga mungkin orang-orang sudah tidak asing lagi dengan warisan budaya benda berupa candi dan batik di Sidoarjo karena sudah banyak orang yang tahu.

Selain warisan budaya benda seperti candi dan batik, sebenarnya Sidoarjo juga memiliki beberapa warisan budaya tak benda yang masih belum banyak diketahui orang salah satunya yaitu Reog Cemandi. Reog ini berasal dari Desa Cemandi, kecamatan Sedati, kabupaten Sidoarjo. Karena reog ini berasal dari Desa Cemandi, maka dinamakan Reog Cemandi. Berdasarkan sumber yang ada, diketahui bahwa awal mula tujuan dari diciptakanya Reog Cemandi ini yaitu untuk menakuti para penjajah Belanda yang memasuki Desa Cemandi. Bentuk topeng dibuat menyeramkan menyerupai buto atau raksasa dengan tarik dan ekspresi menyeringai. Topeng tersebut juga diisi dengan makhluk ghaib atau genderuwo laki-laki dan perempuan. Kemudian diiringi musik kendang dengan aura mistik agar para penjajah tidak ingin berlama-lama tinggal di Desa Cemandi.

Reog Cemandi ini dibuat atas usulan dari salah seorang warga Desa Cemandi yang bernama Abdul Katimin. Ia adalah santri di pondok pesantren Sidosermo Surabaya. Abdul Katimin kasihan melihat keadaan desanya yang diduduki oleh penjajah. Penduduk di Desa Cemandi selalu disiksa dan diminta membayar pajak kepada para penjajah. Ia tak kuat melihat hal itu dan kemudian mengungkapkan rasa ibanya tersebut kepada Kyai pemimpin pondok pesantren Sidosermo yang bernama Kyai Mas Albasyaiban. Dari Kyai itulah Reog Cemandi tercipta. Bahkan saat itu, Kyai Mas Albasyaiban sendiri yang mengisi makhluk ghaib atau genderuwo laki-laki dan perempuan pada topeng. Namun Abdul Katimin dan santri lainya juga turut berkontribusi dalam mencari bahan-bahan untuk pembuatan topeng dan kendang.

Setelah semuanya jadi, Kyai Mas Albasyaiban memerintahkan dua orang warga Desa Cemandi untuk mengenakan topeng banongan lanang dan wadon itu saat penjajah Belanda datang. Banongan lanang dan banongan wadon di depan berjalan beriringan. Banongan lanang mengayunkan golok seakan menebas lawan yang datang. Kemudian kendang ditabuh dan kedua banongan tersebut diarak mengelilingi desa. Dengan adanya Reog Cemandi ini diharapkan para penjajah takut dan segara meninggalkan Desa Cemandi.

Seiring dengan berjalanya waktu, ketika para penjajah Belanda sudah meninggalkan Indonesia. Reog Cemandi berubah fungsi menjadi sebuah pertunjukan dalam iringan pengantin, karnaval, dan bersih desa di Desa Cemandi. Perkembangan kesenian Reog Cemandi ini mengalami pasang-surut. Hal ini karena banyak masyarakat yang belum mengetahui terutama masyarakat Sidoarjo sendiri. Bahkan sampai saat ini Reog Cemandi jarang sekali ditampilkan pada acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten Sidoarjo. Reog tersebut sering ditampilkan hanya pada acara-acara yang diselenggarakan di Desa Cemandi sendiri.

Reog Cemandi memang telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda asli Sidoarjo sejak tahun 2017 silam. Sidoarjo telah berhasil mendaftarkan Reog Cemandi menjadi kesenian khas dari Sidoarjo. Namun setelah adanya pencatatan itu jangan dilalaikan begitu saja, harus tetap ada upaya untuk melestarikan Reog Cemandi tersebut. Berdasarkan fakta yang ada di lapangan, saat ini tercatat hanya tersisa satu sanggar Reog Cemandi di Desa Cemandi. Sanggar tersebut milik Bapak Susilo, ia adalah generasi kelima dalam melestarikan Reog Cemandi.

Zaman yang sudah modern ini seakan-akan membuat pamor Reog Cemandi semakin meredup. Hal ini karena generasi muda sudah tidak peduli dengan pelestarian kesenian daerah dan lebih memilih budaya populer yang dianggap lebih modern. Banyak anak muda yang merasa malu jika ikut latian memainkan Reog Cemandi di sanggar. Kemudian ada pula yang takut untuk memainkanya karena memang kesenian ini terbilang cukup menyeramkan topengnya. Jadi banyak sekali faktor yang melatarbelakangi keengganan mereka melestarikan Reog Cemandi.

Terlepas dari hal itu sudah seharusnya generasi muda di Sidoarjo wajib ikut serta dalam usaha melestarikan Reog Cemandi dengan cara mempelajarinya, mempraktekkanya, serta memperkenalkan kepada masyarakat. Dengan kemajuan teknologi saat ini, generasi muda malah lebih gampang untuk memperkenalkan Reog Cemandi kepada khalayak umum seperti mengupload pertunjukan Reog Cemandi di media sosial Instagram, YouTube, TikTok, dan Facebook. Atau bisa juga menulis tentang Reog Cemandi di blog pribadi, koran, dan lain-lain. Jadi banyak cara yang dapat digunakan untuk memperkenalkan Reog Cemandi ini kepada publik. Tentunya jika ini dilakukan oleh orang tua rasanya kurang bisa maksimal, mengingat banyak orang tua yang gaptek, sehingga perlu adanya kontribusi anak-anak muda Sidoarjo untuk membuat konten-konten kreatif yang dapat membranding popularitas Reog Cemandi. Dan yang paling terpenting adalah ini tugas dari semua anak-anak muda di Sidoarjo, bukan hanya karang taruna di Desa Cemandi saja. Karena saat ini yang terlihat berupaya dalam melestarikan Reog Cemandi hanya masyarakat setempat, masyarakat Sidoarjo lainya masih belum ikut serta dalam upaya pelestarian karena merasa kesenian tersebut hanya milik warga Desa Cemandi saja. Padahal Reog Cemandi ini telah tercatat sebagai warisan budaya tak benda asli Sidoarjo yang tentunya sudah menjadi milik semua warga Sidoarjo, oleh karena itu pelestarian Reog Cemandi ini merupakan tanggug jawab bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline