Bila dilihat dan dicermati mungkin saat ini masih banyak kota-kota di Indonesia yang merupakan warisan kota tradisional. Arti kota tradisional sering diartikan sebagai kota pusat kerajaan-kerajaan di Nusantara atau ibukota kerajaan sebelum pengaruh kekuasaan kolonial berlangsung. Umumnya kota-kota tradisional itu adalah pusat kerajaan-kerajaan di masa lalu. Kota tradisional memiliki ciri yang menonjol, terutama yang berada di Jawa. Ciri tersebut ialah adanya keraton, alun-alun, masjid, pasar dan benteng. Selain itu kota tradisional ditandai dengan adanya penggunaan teknologi yang masih sederhana, penggunaan teknologi ilmu pengetahuan yang terbatas, serta penggunaan sistem produksi yang masih didominasi oleh tenaga manusia dan tenaga hewan.
Dalam pembagian pemukiman, di kota-kota tradisional sudah nampak jelas pemolaan secara kultural, misalnya dalam pembagian dua pemukiman Hindu dan Budha di zaman Majapahit. Pada zaman tersebut di kota tradisional terdapat simbol-simbol kekuasaan raja. Simbol-simbol itu diwujudkan dalam bentuk bangunan fisik, upacara-upacara, dan hak-hak istimewa lainnya. Kemudian pada zaman itu adanya keraton atau istana digambarkan sebagai perwujudan dari birokrasi tradisional yang mengatur kekuasaan sosial dan ekonomi.
Kota tradisonal tidak bisa dibangun dengan sembarang, maka dari itu banyak pertimbangan yang harus diperhatikan, seperti pertimbangan magis-religius atau makro-kosmos, pertimbangan terhadap kepercayaan warga setempat, pertimbangan berdasarkan garis imajiner kepercayaan tradisional, pertimbangan berdasarkan mata angin, dan lain-lain.
Dalam penataan pemukiman di kota tradisonal terlihat jelas adanaya pola sosio kultural, misalnya di sekitar istana atau keraton pasti dibangun rumah para bangsawan, pejabat kerajaan, abdi dalem, tempat ibadah, dan pasar. Kadang-kadang keraton juga merupakan benteng dengan tembok yang melingkar, lengkap dengan lapangan dan tempat ibadah.
Corak kota tradisional banyak terlihat di daerah Jawa Tengah, terutama Yogyakarta. Kota ini dibangun dengan diawali pembangunan benteng keraton dengan penghuni awal adalah Sultan (Raja/Pemimpin kerajaan), para bangsawan yaitu para staff kerajaan dan abdi dalem yaitu para pegawai kerajaan yang menghuni kawasan dalam benteng. Sebagai kota tradisional, Yogyakarta memiliki beberapa struktur kota yaitu, pertama adanya alun-alun. Alun-alun adalah hamparan lapangan rumput yang cukup luas.
Di tengah alun-alun biasanya ditanam sepasang pohon beringin. Kemudian disisi lain alun-alun terdapat jalan masuk yang berada di tengah-tengah membelah alun-alun. Jalan masuk tersebut berfungsi untuk akses bupati menuju ke kantor kabupaten dan kediaman dinas bupati.
Kedua, adanya pasar. Pada masa Sultan Hamengkubuwono I, mendirikan sebuah pasar tradisional yang bernama Bringharjo. Adanya pasar ini merupakan simbol adanya aktivitas ekonomi di lingkungan keraton sebagai tempat distribusi barang dari desa ke kota serta sebagai tempat pemenuhan kebutuhan sehari hari bagi masyarakat desa dan kota.
Ketiga, adanya Masjid Agung. Perencanaan ruang kota Yogyakarta konon didasarkan pada konsep taqwa, oleh karena itu komposisi ruang luarnya dibentuk dengan batas-batas berupa penempatan lima masjid kasultanan di empat buah mata angin dengan Masjid Agung sebagai pusatnya. Di masjid agung terdiri dari beberapa ruang, yaitu halaman masjid, serambi masjid, dan ruang utama masjid. Sedangkkan halaman masjid terdiri atas halaman depan dan halaman belakang.
Selain alun-alun, pasar, dan masjid agung sebenarnya masih banyak lagi struktur kota tradisional Yogyakarta jika diulas lebih mendalam. Terkait beberapa struktur kota tradisional yang telah dijelaskan diatas ada hal yang penting untuk diketahui yaitu penggambaran kota-kota tradisional yang ada di Indonesia sebenarnya memperlihatkan kemiripan satu dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan dinamika sosial dan budaya masyarakat Indonesia terutama di Jawa, memiliki kesamaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI