Aku terduduk bersadar menatap kosong ruang hampa yang kutempati. Entah sudah berapa lama aku berada disini. Kulirik lampu kuning yang semakin redup serta tikar yang kusam. Ingin tersenyum, tapi untuk apa tersenyum?
Lagi-lagi memori gila itu terulang kembali. Membuatku semakin tak ingin hidup. “Mungkin setelah keluar dari sini, aku akan mati”, pikirku.
Kemarin, ada seorang wanita datang menemuiku. Dia terduduk, kemudian memberitahu suatu hal dengan penuh tangis. Ia mengatakan bahwa laki-laki gila itu sudah mati karena kecelakaan. Sungguh, diriku sangat senang mendengar kabar yang ia ucapkan.
Laki-laki gila itu adalah ayahku lebih tepatnya ayah angkatku. Orang yang dengan teganya membunuh ibuku lalu menuduh bahwa aku telat membunuh ibu angkatku sendiri.
Saat itu, sepulang aku dari rumah sakit, aku melihat tubuh ibu yang bergetar penuh tangis. Ku dekati ibuku “Ada apa bu? kenapa ibu menangis?”
Ia tak menjawab, akan tetapi langsung memelukku dengan erat. Kubalas pelukannya, kemudian aku pun mencoba menenangkannya. Akhirnya, ibupun tenang selepas ku ambilkan segelas air minum.
Ibu mendekat, kemudian mengelus puncak kepalaku “Mari, keluar dari rumah ini, ibu akan segera bercerai dengan ayahmu.”
Aku cukup mengangguk, tak berani menjawab barang satu kata pun. Setelah itu, tiba tiba ayah datang dengan penuh amarahnya. Ia mendekat kemudian menyeret ibu dengan beringasnya. Aku pun terkejut, namun tak bisa berbuat apa apa. Ayah menampar ibu dan mengatakan “Mengapa kau datang kesana dan mengganggu kencanku?”
Tangis ibuku pun pecah kembali “Aku hanya ingin tahu apa yang kau lakukan selama ini!”
Tamparan, pukulan, bahkan sayatan pisau terus terusan diberikan kepada ibuku dan ayah berulang kali mengatakan “Aku muak denganmu!”
Sungguh, aku rasanya ingin mendekat dan menolong ibu saat itu juga, akan tetapi rasanya tubuhku sangat kaku.