Lihat ke Halaman Asli

Natasya Sephiana Dewanti

UIN Raden Mas Said Surakarta

Menebar Cinta tanpa Beda

Diperbarui: 12 Mei 2024   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) tumbuh bersama stigma dan diskriminasi masyarakat. Stigma sendiri merujuk pada stereotip negatif, prasangka, dan diskriminasi yang dialami oleh anak yang hidup dengan HIV/AIDS. Sedangkan diskriminasi menurut Fulthoni dkk (2009) adalah pembedaan perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2016) stigma dan diskriminasi menjadi faktor utama penghambat dalam pemenuhan hak-hak dasar ADHA. Pemerintah pusat dan daerah telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk memenuhi hak-hak mereka, namun dalam praktiknya implementasi yang mewajibkan berbagai elemen termasuk masyarakat gagal dilaksanakan. Padahal berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan jumlah kasus HIV di Indonesia diperkirakan mencapai 515.455 kasus selama bulan Januari hingga bulan September 2023 termasuk anak anak.

Stigma terhadap anak dengan HIV/AIDS ini memiliki dampak yang luas,  ADHA seringkali mengalami pengucilan sosial, isolasi, dan diskriminasi di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan, hubungan sosial, hingga hubungan pribadi mereka. Hal ini tidak hanya berdampak secara psikologis dan emosional, tetapi juga pada penurunan kualitas hidup mereka. Stigma yang tumbuh di masyarakat mengenai Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) seringkali disebabkan karena kurangnya pemahaman yang akurat mengenai HIV/AIDS itu sendiri baik mengenai virusnya maupun cara penularannya. Hal ini seringkali memicu ketakutan dan prasangka negatif terhadap individu yang hidup dengan HIV/AIDS. Sebagian orang percaya bahwa HIV/AIDS menular melalui udara atau hanya dengan bersentuhan langsung dengan mereka. Padahal sebenarnya HIV/AIDS ini tidak bisa menular melalui udara, hal ini berarti tidak akan menular melalui batuk, bersin, alat makan, toilet, jabatan tangan, atau duduk bersebelahan. Penularan HIV/AIDS terjadi melalui darah, cairan tubuh (seperti sperma dan cairan vagina), dan dari ibu ke bayi selama masa kehamilan, persalinan, atau menyusui.

Salah satu kisah mengharukan datang dari Pak Puger, seorang tukang parkir di Surakarta yang 12 tahun lalu mendirikan rumah singgah Lentera, sebuah yayasan untuk menampung puluhan ADHA yang dititipkan oleh keluarganya atau bahkan ditinggal sejak mereka dilahirkan. Dari sini saja kita bisa tau bahwa mereka, ADHA ini bukan hanya mendapat stigma dan diskriminasi dari masyarakat  tetapi juga dari keluarga terdekat mereka. Beberapa waktu lalu ketika kunjungan saya ke  Yayasan Lentera Surakarta, beliau sempat bercerita bahwa mereka seringkali mengalami penolakan dari sejumlah warga sehingga mereka sering berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lain. Sejak 12 tahun berdirinya, Rumah Lentera sudah pindah lebih dari dua puluh kali. Baru-baru ini Rumah Lentera pindah dari yang sebelumnya di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bhakti Surakarta berpindah ke salah satu sekolah dasar terbengkalai di tengah pemukiman warga. Beberapa dari mereka (ADHA) sering bertanya mengapa mereka seringkali diusir? Bahkan, ketika pindah ke tempat baru pun mereka belum merasa tenang karena khawatir akan pandangan serta penolakan warga seperti sebelum-sebelumnya. Mereka harus selalu siap jika diminta pindah ke tempat baru baik oleh warga maupun pemerintah. Hal-hal tersebut membuat anak-anak yang makin dewasa dan makin memahami bahwa banyak sekali 'orang yang tidak nyaman' dengan kehadiran mereka. Salah mereka apa? Mereka tidak ingin diperlakukan istimewa, hanya ingin dianggap sebagaimana anak-anak normal di luar sana. Jadi, mengapa tidak dimulai dari kita? Mari menebar cinta tanpa beda, menghilangkan stigma dan ketakutan terhadap anak maupun individu yang hidup dengan HIV/AIDS karena mereka sejatinya adalah manusia yang sama seperti kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline