Lihat ke Halaman Asli

Natasya Rida Syafitri

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

Cina, Dominasi Dunia, dan Filosofi Sun Tzu

Diperbarui: 3 Desember 2021   21:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(source: tech.co)

Tidak dapat dipungkiri bahwa Cina merupakan sebuah negara dengan dominasi yang semakin meluas hingga saat ini. Cina seakan menunjukkan taringnya sebagai bagian dari penyandang gelar “Macan Asia” atau bahkan "Macan Dunia". Lalu bagaimana bisa Cina dapat memperoleh serta memperkuat dominasinya terhadap dunia? Cina sendiri termasuk negara dengan masa lalu kuno yang giat melestarikan serta mengikuti tradisinya, dan untuk menjawab pertanyaan tersebut kita dapat melihat strategi Cina untuk mendominasi dunia melalui prisma sejarah.

Pada perang saudara ribuan tahun yang lalu, Sun Tzu hadir sebagai seorang filsuf dan ahli strategi sekaligus komandan militer Cina. Berkat kemenangannya dalam membela negara Wu terhadap tetangganya di barat, Sun Tzu menjadikan negaranya sebagai negara yang lebih kuat. Saat masa emasnya akan berakhir, ia menulis risalah militer “The Art of War”, yang kemudian menjadi salah satu karya paling populer terkait politik dan strategi. Dalam filosofinya, Sun Tzu menyatakan bahwa cara terbaik untuk mencapai perdamaian adalah dengan kemenangan cepat, bahkan lebih baik lagi jika mampu menundukkan musuh sebelum perang dimulai. Ia menulis: "Untuk bertarung serta mengalahkan musuh pada setiap pertempuran, Anda bukanlah keunggulan tertinggi; Keunggulan berisikan pelanggaran atas perlawanan oleh musuh tanpa adanya pertempuran.”.

Sebagai negara yang memiliki kaitan erat dengan sejarah masa lalu, filosofi Sun Tzu sudah pasti menjadi kiblat paling populer bagi para pemimpin dan penguasa di Cina. Namun, jika pada zaman dahulu risalah militer “The Art of War” hanya dapat diimajinasikan serta diimplementasikan dalam konteks peperangan dengan pertempuran bersenjata, maka pada masa kini Cina berupaya untuk meraih tujuan negaranya dengan mengerahkan sarana diplomatik dan perekonomian, terutama keuangan, ke medan perang modern. Hal ini dapat dipahami melalui skenario sejarah terdahulu dengan kemungkinan bagi suatu negara untuk merebut kekuasaan atas sebuah wilayah dengan menggunakan kekuatan senjata, dan pada saat ini perebutan kuasa atas sebuah wilayah dapat diperoleh dengan menggunakan instrumen keuangan. Terdapat banyak cara dalam memanfaatkan instrumen keuangan untuk memperluas kekuasaan. Cara paling kasar seperti suap hingga cara yang halus seperti investasi, donasi, dan memberikan pinjaman. Dengan kenyataan tersebut, metode primitif yang menggunakan senjata sebagai instrumen perang berganti menjadi pertempuran yang lebih rumit dengan uang sebagai senjata utamanya.

Cina adalah salah satu pemain kuat dalam strategi dominasi dengan menggunakan permainan instrumen keuangan. Selama 20 tahun terakhir, Cina memegang peran sebagai pemberi dana pinjaman global terbesar, dengan persentase fantastis melebihi Produk Domestik Bruto (PDB) global sebanyak 5%. Secara keseluruhan, pemerintah Cina beserta perusahaannya telah memberikan pinjaman langsung dan kredit perdagangan sejumlah 1,5 triliun Dollar AS kepada lebih dari 150 negara. Dengan perhitungan tersebut, Cina bertranformasi sebagai kreditur raksasa di dunia, bahkan jumlah dana pinjaman Cina melebihi banyak organisasi keuangan dunia seperti International Monetary Fund dan World Bank. Rata-rata pinjaman yang diberikan oleh Cina memiliki jaminan berupa pelunasan utang dengan pendapatan yang diperoleh oleh negara penerima pinjaman, salah satu contoh sederhananya yaitu ekspor. Negara-negara seperti Kamboja, Mongolia, Kirgistan dan lain sebagainya memiliki utang kepada Cina hingga 20% dari PDB negara mereka. Permainan keuangan yang dilakukan oleh Cina ini memiliki istilah “Debt-Trap Diplomacy” yang mengacu pada peminjaman dana, secara sadar maupun tidak,  akan menyebabkan negara peminjam terlilit dalam perangkap utang negara yang begitu sulit untuk dilunasi (EurAsian Times Global Desk, 2020). Dalam hal ini, Cina ingin memperoleh pengaruh politik dan dominasi atas negara-negara di Asia-Pasifik dengan kondisi “goyah”.

Kedermawanan Cina dalam memberikan dana pinjaman sedikit banyak tidak menimbulkan kecurigaan pada mata negara lain. Rata-rata negara penerima dengan tangan terbuka menerima aliran dana tersebut tanpa mengetahui dengan pasti niat terselubung yang dimiliki oleh Cina atau memilih untuk menutup mata karena tidak memiliki pilihan lain sebelum keadaan negara mereka, terkhusus perekonomian, terus mengalami penurunan. Cina berkemungkinan besar tidak akan merasa terbebani jika banyak negara dalam lingkup kepentingannya menampilkan antusiasme terhadap dana pinjaman atau donasi dalam jumlah banyak, sebab strategi ini terasa seperti investasi penuh resiko yang menjanjikan bagi Cina dan hanya masalah waktu sampai negara-negara penerima pinjaman dapat diambil alih oleh Cina.

Sri Lanka Dalam Jerat Debt-Trap Diplomacy

Sri Lanka memiliki jumlah utang yang fantastis terhadap Cina. Dimulai pada tahun 2000 hingga 2017, Cina memberikan pinjaman dan donasi kepada Sri Lanka hingga lebih dari 12 miliar Dollar AS. Mahinda Rajapaksa, presiden Sri Lanka, selalu meminjam dana serta meminta bantuan kepada Cina sebagai sekutu guna mengembangkan proyek pelabuhan Hambantota yang pembangunannya selesai pada tahun 2011 (Habibi, 2018). Pelabuhan Hambantota mengecap kegagalan mutlak, sebab pada tahun 2012 terhitung hanya 34 kapal yang melewati jalur tersebut. Kelanjutan dari kegagalan ini sudah dapat diprediksi dengan jelas. Pinjaman dari pemerintahan sebelumnya dengan tragis membelit pemerintahan yang menjabat pada tahun 2017. Pelabuhan Hambantota kemudian beralih kepemilikan menjadi aset Cina. Secara intensif, Cina telah mempelajari kelemahan negara-negara lain yang memiliki objek strategis yang pembangunannya mendapat banyak bantuan dari Cina sehingga melalui “Debt Diplomacy” mereka mau tidak mau harus menyerahkan aset strategis tersebut jika tidak mampu melunasi utang, seperti pelabuhan di Sri Lanka misalnya.

Belt Road Initiative yang Mengikat Afrika

Dalam mengejar ambisinya, Cina mengadopsi sebuah mega-proyek pada tahun 2013 yang dinamakan Belt Road Initiative (BRI). Proyek ini dilangsungkan dengan konsep strategi pembangunan skala global  dengan mengestimasi pembangunan infrastruktur dan investasi di lebih dari 70 negara dan organisasi internasional yang terletak di Asia, Afrika, dan Eropa. BRI diikuti dengan salah satu kebijakan luar negeri Cina, yaitu “Energy Security and Access to Resources” (Sun, 2014). Jalur masuk terhadap sumber daya alam tanpa kehadiran gangguan adalah hal yang urgensinya begitu besar bagi Cina untuk mencapai kepentingan nasionalnya, sebab keberadaan akses material tanpa adanya rintangan dapat memperlancar perkembangan negara. Cina terus bergerak untuk “menyimpan” jalur masuk atas material mentah seperti mineral, minyak, dan material mentah lainnya sebagai dorongan terhadap industrilisasi yang penuh ambisi. Lebih jauh lagi, Cina awas akan masalah lingkungan serius yang ditimbulkan akibat penggunaan batu bara sebagai bahan baku dalam waktu yang panjang mengingat Cina seringkali diberikan sorotan kurang baik atas isu tersebut di ruang lingkup global. Sebenarnya, strategi penuh ambisi Cina dapat dilihat pada salah satu kebijakannya, yaitu pada akhir tahun 1990, saat terwujudnya strategi Going Out sebagai faktor pendorong bagi BUMN hingga swasta untuk menanamkan investasi ke berbagai negara yang sumber daya alamnya beragam.

Demi menjamin pasokan energi di masa depan, minyak menjadi salah satu perhatian utama Cina untuk ditanamkan investasi. Cina berinvestasi pada sektor minyak di pertepian negara-negara Afrika seperti Angola, Nigeria, dan juga Sudan. Cina memiliki kebijakan luar negeri yang terfokus pada peram sebagai penyokong atau pemberi bantuan atas pembangunan ekonomi merangkai ikatan diplomatik dengan berbagai negara berkembang yang berada di Afrika. Beriringan dengan pembangunan ekonomi Cina yang substansial, negara tersebut merubah kebijakannya di Afrika guna menyokong perkembangan ekonomi domestik. Transformasi ini berbanding lurus pada penyesuaian kebijakan mereka ke depannya, di mana dari hanya sekadar menghibahkan bantuan politik menjadi kerja sama dalam perekonomian yang saling memberikan keuntungan antara satu sama lain. Cina turut menyelaraskan kebijakannya dari pemberian bantuan bertransformasi menjadi kegiatan promosi terhadap kontrak pelayanan, perdagangan, serta investasi.

Sudah sangat jelas bahwa Cina melihat pasar yang sangat potensial di Afrika. Afrika bagaikan permata tersebunyi dengan luas daerah serta kaya akan SDA dan SDM yang belum dioptimalkan kehadirannya menjadikan Afrika sebagai wilayahn strategis untuk industri padat karya Cina. Cina memiliki inisiatif untuk mengalokasikan pekerjaan dengan keterampilan rendah serta industri padat karya ke Afrika. Strategi Going Out memberikan efek yang menguntungkan terhadap penguatan hubungan antara Cina dan Afrika. Selain perdagangan, investasi juga berpotensi untuk menguatkan hubungan di antara kedua negara. Investasi yang dilakukan termasuk dalam salah satu realisasi strategi Going Out. China Development Bank dan China Exim Bank berperan sebagai dua instansi yang penting sebagai pengelola atas investasi Cina di Afrika. Hu Jintiao, Presiden Cina yang menjabat pada tahun 2007, melegitimasi dana hibah dengan pemakaian atau penggunaan terfokus pada industri serta sektor yang akan mengembangkan perekonomian Afrika seperti agrikultur, manufaktur, infrastruktur, serta sumber daya lainnya. Penghibahan dana kepada Afrika menjadi jalur penting untuk Cina guna melakukan investasi di negara tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline