Lihat ke Halaman Asli

Bahagia untuk Hati yang Sempurna

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Embun di pagi hari menetes nan bening bersih dan suci, sejuk dan damai kurasakan. Segar udaranya merasuk dalam tubuhku, menjadi semangat dan obat yang sangat berarti. Sang surya mulai menampakkan sinarnya menggantikan sinar sang rembulan.

Seperti anak remaja SMA pada umumnya di pagi hari aku berbenah dan bergegas untuk sekolah, diawali dengan sarapan yang cukup kemudian aku berangkat ke sekolah dengan supir pribadi ayahku. Aku bukan anak satu-satunya tapi hanya akulah darah daging ayah dan mama di keluarga kecilku. Segala fasilitas aku dapatkan tanpa terkecuali dari keluargaku yang berada ini, tapi entah mengapa hati kecilku tidak pernah bisa bahagia semenjak kedatangan Doni tiga tahun lalu. Aku sulit menerima kehadirannya yang kini menjadi adikku. Orang tuaku mengadopsinya ketika aku duduk dikelas 1 SMA, tiga tahun aku bersamanya tapi aku merasa dia tetap orang lain. Dia bukanlah adikku.

“Kring-kring-kring” Bel berbunyi tanda waktu untuk istirahat. Aku menuju kantin sekolah untuk menikmati segelas es karena cuaca sangat panas sehingga membuat tenggorokanku terasa kekeringan. Aku berjalan santai diantara teman-teman ku yang lalu lalang diteras-teras sekolah, lalu aku berhenti sejenak melihat para cowok-cowok yang mayoritas dimata siswa sekolahku mereka keren, mereka sedang berlatih basket. Sungguh tak kusangka, bola basket terlempar keluar lapangan dan mengenai kepalaku hingga aku merasa pusing dan aku pun jatuh pingsan.

“Bila, maafin aku ya. Aku tadi gak sengaja beneran deh suwer! Sebagai gantinya aku anterin kamu pulang ya Bil, please!” Kata Ezar memberhentikan langkahku tepat didepan gerbang sekolah sewaktu aku hendak pulang.

“Iya gak apa-apa ko’. Aku bisa memakluminya, kamu tenang aja. Kalau kamu mau nganterin aku pulang ijin dulu tuh sama supir pribadi bokap ku.” Jawabku santai.

“Oh iya ya. Kamu kan selalu diantar jemput sama supir pribadi ayah kamu, ya sudahlah mungkin lain kali aja. Hehehe.” Kata Ezar dengan lugunya.

“Tuh kamu udah tahu kan.”

“Em kalau gitu gimana kalau nanti malam aku jemput kamu dan kita dinner diluar. Bisa kan? Atau mungkin besok kita jogging bersama aja. Gimana?”

“Aku pilih tawaran yang kedua.” Jawabku to the poin.

“Oke. Jam 5 besok pagi aku tunggu didepan rumah kamu.”

“Oke. No problem!”

Waktu begitu cepat berputar, hari esok tanpa terasa kini menjadi hari sekarang. Tepat pukul jam 5 pagi aku dan Ezar sudah memulai jogging dihari libur ini. Selama hampir 1 jam aku dan Ezar terus berlari mengelilingi jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan yang hijau. Wangi embun kembali kuhirup, aroma khas natural alam dipagi hari begitu sejuk merasuk dalam jiwaku menambah semangat dan energi positif bagi tubuh ini.

Saat aku merasa lelah, ku ajak Ezar untuk istirahat sejenak, tepatnya dibawah pohon diatas kursi kayu panjang berwarna cokelat matang. Aku dan Ezar sejenak melepas lelah di situ. Saat itulah aku melihat dua orang ayah dan ibu sedang berlari-leri kecil bersama dengan anak-anaknya yang masih kecil, mereka terlihat antusias untuk mendampingi anak-anaknya berolahraga.

“Bil, kamu kenapa kok kayaknya serius banget ngelihat keluarga itu?” Tanya Ezar mengagetkanku.

“Oh nggak kok, aku cuma merasa iri aja melihat keluarga itu. Tampaknya mereka sangat bahagia sekali, mereka menjadi keluarga yang utuh tanpa adanya orang asing ditengah-tengah mereka.” Jawabku berkisah.

“Memangnya kamu tahu kalau diantara mereka tuh gak ada satupun orang asing??” Tanya Ezar menegaskan.

“Aku hanya menebak dari melihat keakraban mereka antara satu sama lain aja.”

“Menurutku, kebahagiaaan mereka itu tercipta karena antara satu sama lain diantara mereka bisa memberikan kebahagiaan kepada yang lain. Mereka bisa membuat yang lain bahagia dengan saling berbagi rasa kasih dan sayang, dan saling melengkapi.” Ezar mengutarakannya padaku dengan penuh senyuman hingga lesung pipinya terlihat jelas olehku.

“Ezar. Apakah untuk bahagia saja kita harus berbagi?” Tanyaku dengan lugunya.

“Iya. Karena jika kita mampu membahagiakan orang lain maka tanpa diminta dan tanpa ditunggu pun kebahagiaan akan selalu menghampiri kita.”Jawab Ezar santai.

Jawaban itu cukup membuatku sakit, hatiku miris dan entah mengapa hati kecilku mengatakan bahwa aku harus melakukan itu kepada orang-orang disekelilingku terutama kepada Doni yang telah menjadi bagian dari keluargaku tapi dimataku dia tetaplah menjadi orang asing.

Sepulang sekolah aku duduk termenung sendiri dibelakang sekolah tepatnya dikebun yang telah dirancang oleh pihak sekolah sebagai tempat nokrong anak-anak sekaligus tempat untuk pembelajaran biologi. Banyak penghijauan dan bunga-bunga segar sehingga membuat siapa saja yang ada disana akan merasa nyaman dan udara segar akan selalu menemani hembus nafas ini.

Aku duduk disamping sebuah kolam ikan yang tidak terlalu besar, tapi ikan didalamnya juga tidak terlalu sedikit. Aku melempari batu-batu kecil kedalam kolam itu dengan hati yang bingung dan otak yang sedikit kosong. Tiba-tiba ada seorang yang menghentikan tanganku yang perlahan terus melempar batu, dan kudengar orang itu berkata “Ikan-ikan yang disana tidak akan senang dan mereka bisa mati jika kamu hanya melemparinya dengan batu, mereka akan merasa tertipu dan kamu akan membuat ikan-ikan itu kecewa. Lemparlah dengan ini, ikan-ikan itu pasti akan senang dan mereka akan mendo’akan kamu!”

Dengan sangat rendah hati Ezar mengatakannya sambil memberiku segenggam makanan ikan. Dia duduk disampingku, dan tersenyum lagi melihatku. Aku tertegun melihatnya, lalu dia berkata lagi padaku “Makanan ikan sudah ditangan kamu, kenapa kamu masih diam saja. Ayo lemparlah kesana dan buatlah ikan-ikan itu bahagia!” Aku tetap hanya diam melihatnya, dia pun membuka pelan genggaman tangan kiriku lalu mengambil tangan kananku.

Dia memegang tangan kananku lalu mulai melempar makanan ikan kedalam kolam. Layaknya seperti ia mengajariku melempar makanan ikan kedalam kolam ikan.

“Bahagia itu sederhana kan? Hanya butuh pemahaman untuk saling berbagi dan memberikan makna kehidupan kepada sesama dan kepada semua makhluk Tuhan.” Jelas Ezar padaku.

“Kenapa kamu berkata seperti itu padaku?” Tanyaku menjawab.

“Karena aku melihat dari mata kamu bahwa kamu sedang tidak bahagia. I am sorry, bukan aku bermaksud mencampuri urusan kamu. Aku hanya ingin melihat orang yang sedang sedih bisa kembali tersenyum lagi dan benar-benar bahagia, dengan memberikan makna pada kehidupan yang sesungguhnya. Kalau aku salah karena membuat kamu terganggu bilang aja, aku bisa pergi kok.” Jelas Ezar padaku.

Aku yang sedang risau dengan hati yang suntuk saat itu, Ezar telah membuatku merasa butuh dengannya. Meski dia bukan sahabatku tapi dia baik dan mau mendengarkan aku juga mau berbagi denganku. Tanpa ragu aku pun menceritakan semua masalahku padanya dan dia mendengarkan dengan serius. Lalu dia memberikan tanggapan padaku.

“Kamu tahu, dalam keluargaku aku memang anak kandung dari ayah dan ibuku. Tapi ditengah-tengah keluargaku ada orang asing yang menjadi bagian dalam keluarga kami yaitu kakak. Orang tuaku mengadopsinya karena mereka sudah lama menikah tapi belum juga punya anak, hingga akhirnya setelah mengadopsi kakakku Tuhan akhirnya mengabulakan do’a orang tuaku. Dalam waktu yang tidak lama, akhirnya ibu mengandung aku. Keluarga kecilku tidak pernah menjadikan kakakku sebagai orang asing, semua tulus memberikan kasih sayang pada kakakku, begitupun sebaliknya.

“Sudah jelaskan dari cerita ini, bahwa dengan berbagi Tuhan akan dengan mudah memberikan apapun yang kita mau. Jika kita ingin bahagia maka bahagianlah orang lain, jika kita memberi maka pasti kita akan diberi.” Jelas Ezar padaku tanpa meninggalkan senyumnya.

“Tapi kenapa disaat aku mencoba menerima kehadiran Doni hati kecilku selalu menolaknya. Bahkan aku selalu teringat bahwa dia bukanlah adik kandungku. Semua perasaan itu menyiksaku. Disatu sisi aku sudah menjadi seorang kakak tapi disisi yang lain aku tidak pernah ingin menjadi seorang kakak.” Kisahku.

“Aku mengerti. Memang tidak mudah menjadikan orang asing sebagai bagian dari keluarga sendiri tapi adopsi adalah sebuah pekerjaan yang mulia, dan itu tidak bisa dipungkiri. Bila, suatu saat nanti Doni akan menjadi dewasa dan dia akan membaca akte kelahirannya, dia juga akan mulai menemukan jati dirinya. Sifat yang tumbuh dalam dirinya apakah seperti ayah kamu atau mama kamu tidak ada yang tahu itu. Tapi jika tidak ada kemiripan sama sekali dengan orang tuanya maka Doni akan bertanya dan dia akan mencari tahu siapa dia sebenarnya.” Jelas Ezar.

“Lalu jika dia tahu dia bukan anak kandung ayah dan mama kamu maka dia akan pergi dari rumah untuk selamaya. Benar kan?” Celetukku.

“Tidak. Doni punya hati dan perasaan, meski mungkin perkiraanku akan salah dan apa yang kamu katakan tadi akan menjadi kebenaran. Doni tidak akan serta merta pergi begitu saja, dia akan berbalik melihat keluarga kecilnya lalu mencium tangan kedua orang tuanya, bersujud dikaki mereka, dan dia akan berkata “Terimakasih atas kebahagiaan yang telah kalian berikan dalam kehidupanku selama ini.”

Ezar menatapku, di matanya kulihat penuh kedamaian. Dia seperti meyakinkan aku bahwa apa yang dikatakannya tadi akan menjadi kenyataan. Toh sekarang Doni masih beusia 3tahun tapi kenapa dia begitu yakin dengan apa yang dia katakan. Ezar tidak seperti layaknya cowok remaja yang kukenal, setiap yang ia katakan selalu membawa makna tersendiri bagiku. Dia benar-benar lain dari yang lain.

“Nanti malam boleh ya aku main ke rumah kamu?” Tanya Ezar padaku.

“Oh sure. Welcome!” Jawabku dengan senang hati.

Aku dan Ezar berjalan bersama sampai digerbang sekolah, disana supir pribadi ayah sudah menunggu dari dua jam yang lalu. Aku dan Ezar pun berpisah digerbang sekolah. Aku sengaja tidak langsung pulang, karena suasana dirumah membuatku ilfeel semenjak kedatangan Doni tiga tahun lalu, aku merasa semua orang dirumahku berubah sikap dan sifatnya padaku. Aku tidak suka menjadi seorang kakak tapi dunia telah mengatakan sebaliknya, entah mengapa aku seperti itu bahkan sekeras dan sekuat apapun aku berusaha membalik kondisi hatiku untuk menerima Doni sebagai adikku, usaha ku selalu nihil. Aku mengatakan semua kepada Ezar tanpa ragu, semoga saja ia bisa menyimpan rahasia ini dari keluargaku meski nanti malam Ezar akan datang kerumahku.

“Nabila, apa kamu mengundang teman kamu datang kerumah?” Tanya mama sambil mengetuk pintu kamarku.

“Iya. Kenapa ma?” Jawabku sambil kubuka pintu kamarku.

“Itu dibawah ada yang menunggu kamu dari tadi. Dia sudah setengah jam yang lalu ada dibawah.” Jelas mama.

Oh my God. Yang bener aja ma? mama serius?” Tanyaku kaget.

“Iya mama serius sayang. Mama kira kamu sudah tau dengan kedatangannya?”

Aku segera melangkahkan kaki, dengan cepat dan lincah kuturuni tangga menuju ruang tamu dibawah dan ternyata diruang tamu tidak ada siapapun. Hanya ruangan kosong dan pintu rumah yang terbuka hingga angin yang masuk kedalam rumah tanpa ragu menerpa diriku. Aku yakin Ezar pasti ada diluar rumah, dan benar pikirku Ezar memang sedang duduk santai disamping kolam renang sambil ia memainkan kakinya dalam air.

“Kamu kok gak bilang sih Zar kalau datang dari tadi. Aku kan jadi gak enak sama kamu!” Kataku sedikit kesal sambil beranjak duduk disebelah Ezar.

“Memangnya kehadiranku berarti ya buat kamu?” Jawab Ezar dengan senyumnya padaku.

“Eh kamu apa-apa’an sih, nyebelin deh. Yang namanya tamu kan harus dihormati lalu disambut dengan baik, iya kan?” Jawabku masih sedikit kesal.

You right. Kamu tenang aja dari tadi aku nggak sendirian kok karena ayah kamu sudah menemani aku ngobrol.” Jelas Ezar mengagetkanku.

What? Terus kamu bicara apa aja sama ayah? Jangan sampai aku dengar jawaban kalau kamu bilang tentang semua yang aku ceritain tadi siang ke kamu!” Kataku serius dan sedikit mengancam.

“Bil. Kamu tahu nggak kenapa ada beribu-ribu bintang dilangit, kenapa tidak satu aja seperti bulan?” Kata Ezar mengalihkan pembicaraan.

“Kamu itu lucu ya Zar, ngapain sih mikirin hal yang nggak perlu dipikirin. Lagian Tuhan sudah mengatur segalanya ngapain kita pikirin.” Jawabku cuwek.

“Kamu tahu kenapa ada batu kecil dan ada batu yang besar didunia ini?” Ezar tetap melontarkan pertanyaan hingga sedikit membuatku kesal padanya.

“Dan kamu tahu kenapa air itu mengalirnya kebawah bukan kesamping atau keatas sekalipun?” Lanjut Ezar.

“Ezar. Please deh. Kamu itu nyebelin ya, aku tuh nggak suka bahas-bahas kayak gituan. Aku nggak tertarik Ezar!” Jawabku sedikit emosi.

Ezar hanya diam diam dan hanya diam. Beberapa menit kita terdiam, sepi dan sunyi hanya suara angin yang berhembus terdengar oleh telingaku. Tak ada kata tak ada suara dan tak ada sikap yang diambil. Aku tidak tahu sebenarnya siapa yang salah dalam hal ini, aku ataukah Ezar? Akhirnya ku putuskan untuk meminta maaf padanya dan kukatakan bahwa aku tidak tahu jawaban dari semua pertanyaan Ezar padaku.

“Oke. I am sorry. Aku gak tahu jawaban dari pertanyaan kamu. Puas?!!”

“Nabila. Aku tahu sifat jelek kamu adalah sedikit angkuh, benar kan?.. Meski bintang dan bulan sama adanya di langit dan munculnya pun hanya di malam hari tapi mereka berbeda, ukuran mereka berbeda dan cahayanya pun juga berbeda. Sama seperti manusia, yang terlahir dengan wujud yang sama dan ditempat yang sama adanya, tapi rupa berbeda hati berbeda, nama juga berbeda dan jalan kehidupannya pun berbeda. Tinggal bagaimana cara untuk saling menghargai mengasihi dan menyayangi satu sama lain.

“Kalau manusia tidak berbeda maka tidak akan ada orang yang kaya, orang yang miskin. Tidak akan ada kasta dan tidak akan ada kehormatan. Jika seperti itu maka semua orang akan mudah jatuh, karena apa? Karena kedudukan yang sama akan membuat orang lalai tapi dengan adanya tingkatan itu akan mencipatakan perpecahan. Maka seperti itulah kenapa ada batu kecil dan ada batu yang besar, bolehlah bangga menjadi yang besar karena kebesaran itu identik dengan kekuatan tapi jangan lupakan batu yang kecil, karena kalau kita lalai maka kita akan tersandung dan jatuh. Coba kamu pikir mana ada orang tersandung batu yang besar, iya kan?

“Dan lagi banyak pepatah bilang hiduplah seperti air yang terus mengalir, mau ditempat yang terjal, ditempat yang dangkal atau ditempat yang tenang sekalipun air akan tetap mengalir dan akan selalu bisa menyesuaikan dirinya. Dimanapun tempatnya ia tetap akan menjadi air. Untuk menyadari siapa sebenarnya diri kita dan agar selalu mensyukuri segala yang diberikan Tuhan maka kita perlu melihat kebawah. Hanya dengan itu berbagi dan bersyukur akan menjadi mudah dan orang-orang yang ada dibawah akan bahagia, karena yang diatas mau mengayomi yang dibawah juga dengan tulus mau berbagi kebahagiaan dengannya. Itulah kenapa air selalu mengalir kebawah.” Jelas Ezar dengan sangat bijaksana.

Aku tertegun mendengar semua yang dikatakan Ezar dengan sangat detail itu, dia begitu mengerti akan makna kehidupan. Dia telah menyihirku dengan kata-kata bijaknya juga dengan segala perumpamaan dan juga alasannya, dia bijaksana. Dia memang lain daripada yang lain.

“Kamu mengerti banyak ya tentang kehidupan. Kamu dewasa banget Zar?” Jawabku merespond penjelasan Ezar.

“Nggak kok Bil, aku cuma berusaha mengerti dan memahami dari membaca segala pelajaran yang tersirat dimuka bumi ini.” Jawab Ezar santai.

“Aku beneran nggak nyangka Zar, kamu bisa memaknai kehidupan dengan sangat dalam seperti ini?” Kataku terheran-heran.

Life is an adventure.” Jawab Ezar sambil tersenyum lebar.

“Wow.. kamu hebat Ezar. Oya, tapi benerankan kamu nggak bilang sama ayah tentang aku sedikitpun?” Tanyaku mengulang.

I am sorry. Kurasa orang tua kamu perlu mengetahui itu semua. So, I tell it.” Jawab Ezar dengan mudahnya.

“Kamu keterlaluan ya Zar, kamu nekad tau nggak. Aku merahasiakannya dari ayah dan mama agar mereka nggak kecewa, cukup aku yang tau dan biarkan aku merasakan semua ini sendiri. Kamu bikin aku nyesel udah ngasih tau kamu Zar, kamu salah Zar. Yang udah kamu lakukan itu kesalahan besar buat aku. Aku nyesel tahu nggak!” Jelasku dengan sangat emosi kepada Ezar.

Ku tinggalkan Ezar sendiri disamping kolam, aku tidak berbalik sekalipun melihatnya. Dia benar-benar telah membuatku kesal dan marah padanya. Semalam penuh mataku tidak bisa terpejam memikirkan apa yang akan dilakukan ayah dan mama setelah mengetahui bahwa selama ini aku tidak pernah bisa menerima Doni, dan menjadikannya bagian dalam keluarga kecilku ini.

“Semua akan terasa berharga jika sudah tiada. Maafkan aku!”

Ezar mengirim pesan singkat itu padaku. Malam itu kemarahanku membuatku tak ingin membaca dan mendengar apapun yang dikatakan Ezar, aku menutup mata dan telinga atas Ezar hingga aku tak merasakan apapun tentang arti pesan singkatnya itu.

Entah apa yang terjadi padaku, mungkin Tuhan Yang Maha membolak balikkan hati telah membalikkan hatiku ini. Di pagi hari menjelang siang, tiba-tiba aku merasa bersalah yang amat besar pada Ezar, aku teringat semua nasihatnya yang begitu bermakna bagiku. Hatiku berkata aku harus segera menemuinya, dan tanpa pikir panjang aku pun segera berangkat menuju kerumah Ezar.

Ternyata rumah Ezar sepi dan tidak ada satu pun familiynya. Aku putuskan untuk menunggu di depan pagar rumahnya sambil bertanya-tanya kepada siapa saja orang yang kutemui di depan rumahnya.

“Maaf pak. Numpang nanya, yang punya rumah ini pada kemana ya pak kok kelihatannya sepi sekali?” Tanyaku pada seorang bapak sebaya berambut putih berpakaian rapi yang baru turun dari ojek tepat di depan pagar.

“Memangnya neng ada perlu apa dan sama siapa ya?” Tanya balik orang itu padaku.

“Em saya ingin bertemu Ezar pak. Memangnya bapak kenal?” Tanyaku memastikan.

“Kebetulan saya salah satu pembantu dirumahnya mas Ezar.” Jawabnya lugu.

“Oh. Berarti bapak tau dong kemana Ezar?” Tanyaku lagi tidak sabar untuk segera tahu.

“Mas Ezar lagi kerumah sakit neng.” Jawaban itu membuatku kaget dan bingung.

Ke rumah sakit? Memangnya siapa yang sakit pak?”

“Lho, memangnya neng belum tahu. Penyakit jantung mas Ezar kumat jadi tadi subuh orang tuanya membawanya kerumah sakit.”

“Penyakit jantung??” Tanyaku seperti orang bodoh yang tak tahu apa-apa.

“Iya. Neng nggak tahu ya bahwa selama hidupnya mas Ezar selalu mengkonsumsi obat untuk bertahan dari penyakit kelainan jantungnya neng.”

Pernyataan itu sangat mengagetkanku hingga rasanya aku sulit bernafas, laksana pedang yang tiba-tiba datang menghujam jantungku dan ribuan tangan manusia yang sedang mencekik leherku. Air mataku pun tak tertahan seketika.

5 menit akhirnya aku sampai di rumah sakit, aku berlari dan terus berlari karena aku tidak pernah ingin kehilangan Ezar. Dia telah membuka dunia untukku, dia mengajariku banyak hal, memberikan makna yang dalam bagi kehidupanku. Dia mengajariku banyak hal kecil yang bermakna agung, hal kecil yang sederhana tapi begitu besar maknanya. Dia membuatku mengerti bahwa bahagia itu sederhana dan berbagi itu indah. Dia benar-benar telah mengajariku cara berpetualang dalam hidup. Saat aku bertemu dengannya nanti akan kukatakan bahwa aku sayang padanya, dan aku tidak pernah ingin kehilangannya.

Sampai didepan UGD, nafasku terengah-engah tak beraturan. Aku terkejut melihat keluarga Ezar saling memeluk satu sama lain dengan air mata yang membasahi pipi mereka. Hatiku semakin sakit melihat kenyataan itu, aku tidak ingin terlambat dan aku tidak mau kehilangan. Satu isyarat yang kumengerti bahwa Tuhan tidaklah berpihak padaku saat itu, ayah Ezar datang padaku sambil menggelengkan kepalanya pelan. Iya, benar. itu menandakan ketiadaan.

Tanpa bisa kutahan air mata, kulihat seseorang digledek keluar dari UGD dengan banyak kabel slang infus yang menancap ditubuhnya. Aku tahu itu bukan Ezar. Menyusul dibelakangnya seorang tanpa apapun yang melekat ditubuhnya, dia terdiam dan sekujur badannya tertutupi oleh selimut putih. Membuatku semakin tak bisa menahan air mata karena tidak lain dan tidak bukan dia adalah Ezar sang pencerah bagiku. Tangisku semakin meledak histeris.

“Maafkan aku tidak memberi tahu tentang ini padamu. Sudahlah jangan menangis, aku hanya ingin melihat kamu selalu tersenyum dan bahagia dengan tulus tanpa paksaan. Kasihilah orang lain maka kamu akan mendapat kasih sayang yang berlimpah ruwah. Jika kamu ingin dicintai maka kamu harus mencintai dan jika kamu ingin diberi maka kamu harus memberi. Berbagilah maka bahagia itu akan menjadi mudah dan sederhana. Bahagialah bersama keluarga kecil kamu. Kamu bisa hidup tanpa aku Nabila, tapi kamu tidak akan pernah bisa hidup tanpa keluarga kamu, tanpa ayah mama dan Doni adik kamu. Hidup kamu akan sempurna bersama mereka. Bahagialah untuk Ezar Nabila! Semoga Tuhan mempertemukan kita disurga kelak.”

Ezar Syahreza

Pesan itu diberikan keluarganya padaku, pesan terakhir yang masih sangat kental menunjukkan jati diri seorang Ezar. Aku sangat bisa merasakan kehadiran Ezar saat membacanya. Dia memberikan hatinya pada kakaknya yang mengalami gagal ginjal, hatinya begitu mulia dia baik sekali. Dia membuka mata hatiku bahwa orang asing akan mudah menjadi keluarga sendiri jika dengan tulus kita mau memberi dan berbagi. Karena berbagi akan membuat orang lain bahagia. Dan untuk kali pertama aku menggendong Doni serta menciumnya dan menghabiskan waktu bersamanya adalah berkat seorang Ezar Syahreza.

Kenyataan menjawab pesan singkat Ezar yang dikirimnya tadi malam padaku. Ezar membuatku tersenyumtapi dia juga telah membuatku menangis, meski dia tidak mendengar tangisanku sekarang. Baru saja aku ingin dia tahu perasaanku padanya tapi dia sudah pergi meninggalkan aku dan cintaku untuk selamanya.

Mungkin Tuhan tidak mengizinkan kita bersama didunia ini, tapi Tuhan akan mempertemukan kita disurga tempat terindah. Rencana Tuhan pasti lebih indah karena pena Tuhan tidak akan pernah salah menggoreskan tintannya tapi manusialah yang suka salah dalam membacanya.

Thank you Ezar. Love you so much!

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline