Lihat ke Halaman Asli

Natasha Adhys

Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Indonesia

Kualitas Karakter dan Pendidikan Bangsa dalam Bingkai Ketimpangan Ekonomi

Diperbarui: 26 Juni 2023   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lulus sekolah | Gambar: Unsplash.com by Vasily Koloda

'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.' Begitulah bunyi sila kelima dalam Pancasila. Pertanyaannya, apakah keadilan sosial itu sudah ada bagi seluruh rakyat Indonesia? Menurut Badan Pusat Statistik pada bulan Maret 2018, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82%). Jumlah ini telah berkurang sejak September 2017 dimana di pedesaan berkurang sebanyak 505 ribu jiwa dan di perkotaan sebanyak 128,2 ribu jiwa.  

Dari jumlah tersebut, sebanyak 2,5 juta anak Indonesia putus sekolah. Berdasarkan survey dari Hasil Bantuan Siswa Miskin Endline, 47,35% responden putus sekolah karena tidak memiliki biaya, 31% ingin membantu orang tua bekerja dan sisanya ingin melanjutkan pendidikan nonformal.

Berdasarkan data di atas maka dapat diketahui dengan jelas jika sebagian besar anak putus sekolah karena kurangnya biaya. Kehidupan yang dibawah garis kemiskinan membuat mereka harus melepaskan jenjang pendidikan, belum lagi jumlah 31% responden yang beralasan ingin membantu orang tua. 

Sebagaian besar responden dengan alasan membantu ini juga dapat dipastikan berasal dari masalah yang sama dengan alasan kekurangan biaya, keadaan ekonomi keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Dari data jumlah dan alasan anak putus sekolah ini pula dapat disimpulkan bahwa selama ini, di Indonesia, kemiskinan menjadi problematika besar di balik pendidikan bagi generasi muda. 

Secara ekonomi, Indonesia memang mengalami tingkat penurunan masyarakat miskin, namun jumlah anak putus sekolah tetap bertambah tiap tahunnya seakan-akan penurunan rakyat miskin di Indonesia tidak membawa dampak besar dalam penurunan jumlah anak putus sekolah.

Seperti yang kita ketahui, dibalik sebuah kesengsaraan, ada pula sebuah kemakmuran. Dibawah angka kemiskinan, banyak anak-anak putus sekolah yang terpaksa mengubur cita-citanya sedalam mungkin. Sedangkan mereka yang menjadi kalangan menengah dan menengah atas dalam ekonomi negara dapat mengenyam pendidikan yang baik, bahkan jauh lebih baik dari mereka yang miskin. 

Ketimpangan ekonomi yang ada saat ini membuat jurang antar golongan masyarakat semakin lebar, tidak hanya dalam status sosial-ekonomi, tetapi juga dalam pendidikan. Dengan biaya pendidikan yang tidak bisa dikatakan murah pada masa kini, rakyat kurang mampu akan terus terpuruk dalam lingkaran kemiskinan yang tak berujung karena tak ada generasi mereka yang mampu keluar dan mengenyam pendidikan demi mendapat 'modal' untuk memiliki hidup yang lebih baik nantinya. Sedangkan kaum beruang dapat terus membangun generasi mereka dan mengambangkan hidup mereka supaya mereka dapat merasakan kehidupan yang lebih nyaman lagi.

Kiranya program 12 tahun wajib belajar dari pemerintah masih kurang efektif dan kurang berhasil, buktinya, masih banyak anak putus sekolah. Selain itu, diketahui pula dengan tingkat pendidikan pejabat daerah yang tinggi, ternyata banyak pula provinsi-provinsi yang belum menjadikan Program 12 tahun Wajib Belajar sebagai prioritas utamanya, padahal dapat diyakini pula, pastilah masyarakat umum terutama mereka yang menduduki jabatan pemerintahan memiliki kesadaran bahwa masa depan negeri ini ada di dalam genggaman generasi muda. 

Sangat disayangkan bagaimana pentingnya pendidikan selalu dikoarkan dalam media massa namun realitanya berbanding terbalik, bahkan pendidikan menjadi prioritas nomor kesekian di beberapa provinsi di Indonesia.

Selain dari sisi ekonomi, nampaknya pendidikan juga berkaitan kuat dengan nilai moral yang membentuk karakter masa depan bangsa. Sekolah (terutama Sekolah Dasar), menjadi titik tanam nilai-nilai moral bagi generasi muda untuk berkembang secara positif, sehingga nantinya dapat memiliki karakter yang kuat dan positif. Namun, dengan banyaknya angka anak putus sekolah, maka semakin banyak pula karakter bangsa yang hilang.

 Semakin sedikit generasi muda berkarakter, padahal dapat dikatakan hanya mereka yang berkarakter yang mampu bertahan dalam era globalisasi seperti sekarang ini. Kalaupun rakyat menengah ke bawah bersekolah, sekolah yang ditawarkan oleh pemerintah pun dinilai kurang membangun karakter positif pada anak dan kegiatan pembangunan karakternya juga masih minim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline