Lihat ke Halaman Asli

Natania Valentine

Seorang mahasiswi

"Ronggeng Bukan Pelacur!"

Diperbarui: 7 Maret 2022   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertunjukan Ronggeng

Ronggeng merupakan tarian Jawa yang terdiri dari beberapa wanita sebagai penari dan disertai dengan sekelompok pemusik yang memainkan alat musik Sunda seperti siter, rebab, dan gong. Kata Ronggeng berasal dari bahasa Sunda yang berarti ruang, rongga, atau lubang simbol dari alat kelamin wanita dan dari bahasa Sansekerta yang berarti perempuan pujaan (National Geographic Indonesia, 2015). 

Awal mulanya, pertunjukan Ronggeng bertujuan untuk menghibur para tukang kebun dan tentara. Sehingga Ronggeng identik dengan kepiawaian penari dalam menggoda lawan jenis. Kelebihan fisik seperti tubuh yang ideal, paras yang cantik, dan suara yang merdu menjadi syarat utama untuk bisa menari Ronggeng. Sebelum menjadi Ronggeng pun, mereka harus melakukan beberapa ritual untuk bisa memaksimalkan kekuatan dalam dirinya. Setelah selesai diselenggarakannya pertunjukan Ronggeng, biasanya penonton menyelipkan uang pada dada penari yang banyak diartikan sebagai praktik prostitusi. 

Putten dalam Barendregt (2014) menggali lebih dalam mengenai pertunjukan ronggeng yang kontroversial. Kotor, erotis, dan menggairahkan merupakan tiga kata yang bisa menggambarkan tari Ronggeng. Ronggeng tidak hanya ada di Jawa, tetapi juga ada di Semenanjung Malaya dan Sumatra. Wajah Ronggeng tidak ada bedanya di Jawa maupun di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Tetap pada tarian sosial dari beberapa wanita penari yang ditampilkan di panggung dan mengundang laki-laki untuk berpartisipasi dengan biaya tertentu. Selain menonton pertunjukan, pelanggan laki-laki juga bisa ikut menari dengan penari favoritnya dengan biaya tertentu juga. Semakin berkembangnya jaman, Ronggeng hanya ditampilkan pada acara-acara tertentu saja seperti pertunjukan wisata dan festival internasional. Bisa terjadi demikian karena tarian yang mengundang laki-laki sangat rentan dengan kritik negatif dari masyarakat dan dianggap berbahaya karena memicu berbagai permasalahan moral di masyarakat. 

Saya sendiri setuju bahwa tari Ronggeng yang masih tradisional menonjolkan atribut feminim melalui pakaian dan riasan yang membuat auranya menjadi lebih menggoda penonton. Tak jarang juga penonton yang jatuh cinta kepada para penari Ronggeng. Memang bukan seharusnya pertunjukan Ronggeng diartikan sebagai praktik prostitusi, namun memang dulunya penari Ronggeng berinteraksi dengan laki-laki, menari secara dekat dan menyentuh beberapa bagian tubuhnya. Sang penari juga terkesan memaksa penonton untuk mengikuti alur tariannya yang vulgar. 

Walaupun bercitra buruk, namun ada alasan dibaliknya. Kebutuhan ekonomi keluarga menjadi alasan utama para penari. Namun saya juga setuju bahwa Ronggeng bukanlah praktik prostitusi. Dianggap sebagai praktik prostitusi terselubung pada seni tari dikarenakan bentuk tukar-menukar antara hiburan tubuh dan juga uang yang tentu saja merupakan penyalahgunaan kesenian oleh beberapa oknum. Selayaknya mengambil kesempatan dalam kesempitan. 

Foley (2015) dalam jurnalnya mengungkapkan pertunjukan Ronggeng sangat erat dengan kebudayaan umat Muslim. Tercermin dari alat musik yang digunakan seperti rebana, kecapi, siter, dan alat musik Sunda lainnya. Selain dari alat musiknya, pakaian yang digunakan yaitu pakaian lengan panjang dengan penutup kepala seperti hijab dengan rambut yang diikat atau biasanya disebut dengan ‘gelung’. Pertunjukan ronggeng diiringi dengan lagu “Kebang Gadung” yang memiliki konotasi seksual. 

Dapat disimpulkan bahwa tidak semua aspek ronggeng berkonotasi seksual karena dekat juga dengan kehidupan masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam. Bahkan semakin hari, pertunjukan Ronggeng dikemas lebih bermoral. Keotentikan Tari Ronggeng tidak berubah dari waktu ke waktu walau dihapuskannya gerakan-gerakan seksual. Didirikan juga beberapa sekolah yang mengajarkan Tari Ronggeng bersamaan dengan Tari Topeng dan juga Wayang. 

Memang betul dan saya setuju bahwa stigma negatif masyarakat mengenai Tari Ronggeng tidak akan pernah terhapuskan. Menjadi tugas bersama untuk mengembalikan citra ronggeng menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Tanpa merusak wujud aslinya, perbaikan dapat dimulai dari gerakan tarian yang terkesan erotis diubah menjadi gerakan yang lebih anggun. Dihapuskan juga adegan-adegan yang menggoda lawan jenis. Pertunjukan Ronggeng juga mulai ditampilkan disaat-saat tertentu sebagai pelestarian kebudayaan Indonesia. Bukan lagi untuk hiburan yang memenuhi hawa nafsu seseorang atau sekelompok orang. 

Didirikannya sanggar Tari Ronggeng juga merupakan ide yang bagus dalam upaya melestarikan kebudayaan Indonesia. Walaupun Tari Ronggeng memiliki kisah lama yang negatif, namun sekarang sudah terbangun citra baru yang lebih positif. Sehingga tidak lagi ada sebutan ‘ronggeng adalah pelacur’. Tak hanya itu, Tari Ronggeng juga berhasil meraih rekor MURI pada tahun 2015 dikarenakan 1.525 ronggeng mengguncang Majalengka (National Geographic Indonesia, 2015). Ini menjadi awal yang bagus, supaya bisa melestarikan kebudayaan tanpa merusaknya atau menghilangkan keotentikannya. Pada akhirnya, tidak semua bisa menjadi Ronggeng tetapi bisa menjadi penari Ronggeng. 

Teori gender dan seksualitas sesuai untuk membahas mengenai hal ini. Feminisme yang merupakan gerakan yang berakar dari kesadaran perempuan ini menyelamatkan perempuan dari penindasan dan eksploitasi sehingga terjadi kesetaraan gender di masyarakat. Tentu saja feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki serta menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplin yang berpusat pada laki-laki. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline