Menjadi bagian dari generasi milenial adalah sebuah hal yang patut disyukuri oleh anak muda saat ini. Gimana enggak, generasi yang akan menjadi penerus bangsa di masa Indonesia Emas 2045 ini diberkahi dengan kemajuan teknologi yang gak pernah berhenti bertumbuh dan bertransformasi dalam memudahkan akses kehidupan.
Kemajuan itu ternyata sejalan dengan kemampuan generasi milenial untuk dapat menguasai teknologi dengan cepat. Hal inilah yang menjadikan generasi milenial menjadi lebih unggul dibanding "kakak-kakaknya".
Maka, tidak heran jika kemudian mereka disebut sebagai Si Paling Fast Learner karena bakat yang dimiliki. Hebat sekali ya, generasi yang di dalamnya ada aku ini.
Segala hal superior yang dipaparkan barusan pada kenyataannya enggak bisa menutup fakta bahwa generasi milenial itu punya problem seperti halnya generasi pendahulunya.
Aku sebagai salah satu member di generasi ini paham betul tentang kondisi anak muda saat ini yang seringkali terlihat tegar di luar, rapuh di dalam mirip kue bantat yang belum matang di dalamnya. Punya banyak ambisi dan kehendak, namun sirna oleh rasa putus asa dan kurang percaya diri.
Merasa paling mengerti dan paham tentang banyak hal dan bisa mengandalkan kemampuan sendiri, nyatanya mereka mundur karena kebanyakan mikir atau akrab disebut overthinking.
Berpandangan kalau orang tua itu kebanyakan tuntutan dan cenderung diktator, padahal memang generasi milenial masih seorang pemula dan perlu petunjuk dalam menjalani gelombang kehidupan yang sangat dinamis ini.
Dari segelintir poin yang udah aku sampaikan tadi, terciptalah kamus khas anak masa kini yang menggambarkan kondisi-kondisi mereka saat ini. Misalnya sering merasa insecure yang merupakan perasaan gak aman karena cemas atau takut, anxiety yang bermakna kecemasan berlebihan, terjebak dalam toxic relationship-semacam hubungan yang enggak baik buat diri sendiri dan biasanya berhubungan dengan pertemanan, dan banyak lagi istilah lain.
Di tengah berbagai kerumitan kehidupan yang dijalani, anak-anak muda dengan label generasi milenial kemudian mencoba cara masing-masing untuk setidaknya mengurangi beban pikirannya.
Biasanya, mereka akan berkumpul untuk saling bertukar cerita satu sama lain, sekadar nongkrong untuk melepas penat, atau pergi melakukan perjalanan ke tempat-tempat rekreasi yang mereka sebut sebagai healing.
Menariknya, alih-alih memulihkan semangat, healing ala generasi milenial ini malah bisa memperburuk keadaan dari yang sebelumnya. Jauhnya perjalanan dapat menimbulkan lelah fisik. Selain itu, tentunya diperlukan biaya yang bisa jadi tidak murah. Terkadang, aku merasa sedikit lucu setiap mendapati fenomena semacam ini.