Lihat ke Halaman Asli

Satu Karyawan PT Freeport Tewas, Korban Adu-Domba?

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

Buntut dari perundingan panjang antara karyawan dengan manajemen PT. Freeport yang sudah berlangsung sejak Juli 2011 itu, berakhir ricuh. Uniknya, perseteruan bukan lagi antara karyawan yang berhadap-hadapan dengan pihak manajemen PT. Freeport, tetapi dengan aparat kepolisian. Maka wajar jika  korban yang jatuhpun datangnya dari kedua pihak yang secara langsung berjibaku di Terminal Gorong-gorong. Uniknya lagi, insiden tersebut kontan mendapat sorotan dari Amnesty International yang langsung mengecam aparat kepolisian. Bagaimana dengan pihak Manajemen PT Freeport? Merekalah yang menjadi pemicunya, kok malah terkesan dibela? Insinden ini berawal dari rasa kesal para karyawan yang sudah sejak Juli lalu menuntut peningkatan kesejahteraan. Kendati sudah melalui aksi mogok massal dan musyawarah yang dimediasi wakil rakyat (DPRP), namun tuntutan mereka tak kunjung dipenuhi. Maka tanggal 10 Oktober 2011,ribuan karyawan Freeport bersama istri dan anak-anak merekamelakukan konvoi jalan kaki dari Sekretariat SPSI PT. Freeport di Jalan Perintis Kemerdekaan Timika Indah menuju Terminal Gorong-gorong.Maksud kedatangan mereka adalah untuk meminta pihak manajemen untuk sementara waktu menghentikan operasional perusahaan sampai adanya penyelesaian. Penghentian operasional itu juga sesuai hasil rekomendasi Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam pertemuan di Jayapura tiga hari sebelum terjadi insiden tersebut. Di terminal Gorong-gorong, konvoi ribuan karyawan PT. Freeport tersebut dihentikan aparat kepolisian. Dengan tameng, aparat kepolisian membendung massa agar tidak masukke lokasi terminal.Massa lalu melempar aparat dengan batu sehingga polisi terpaksa mengeluarkan tembakan peringatan.Mendengar bunyi tembakan peringatan, massa malahan semakin beringas, dan polisipun terdesak lalu bertahan di balik jeruji besi Terminal Gorong-gorong. Bahkan Kapolres Mimika AKBP Deny Edward Siregar dan Komandan Satgas Pengamanan PT. Freeport yang hendak memberi imbauan kepada karyawan nyaris terkena lemparan batu.Akhirnya, polisi mengeluarkan tembakan peluru tajam ke arah massa agar membubarkan diri. [caption id="attachment_136271" align="alignright" width="303" caption="Briptu Jamil"][/caption] Korban jiwapun tak terelakan. Petrus Ayamiseba, karyawan PT. Freeport, yang bekerja di Departemen Underground itu tewas sia-sia. Ia menghembuskan napasnya yang terakhir dalam perjalanan ke RSUD Mimika. Tujuh rekannya yang juga karyawan PT. Freeport luka-luka terkena tembakan peluru tajam aparat kepolisian. Dari pihak aparat keamanan, juga ada beberapa personil yang luka-luka terkena lemparan batu. Luka paling parah dialami Briptu Jamil, yang dibacok saat ia sedang mendokumentasikan insiden tersebut. Sebagai bangsa, kita patut menyesalkan insiden di terminal Gorong-gorong itu. Petrus Ayamiseba bukanlah korban pertama. Dari tahun 2006 hingga sekarang, Freeport terus “memakan” korban. Maka wajar jika kematian Petrus Ayamiseba membuat para wakil rakyat dari Papua mencak-mencak. "Saya minta Freeport tidak menggunakan aparat keamanan baik polisi maupun TNI dalam menghadapi aksi demo karyawan menuntut haknya. Bila perusahaan terus menggunakan kekuatan aparat, malah menambah daftar panjang pelanggaran HAM di tanah Papua," ujar Diaz Gwijangge (Anggota DPRP) dari Jakarta di sela-sela kegiatanmengikuti Rapat Dengar Pendapat dengan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia di Gedung MPR/DPR/DPD Senayan, Jakarta, Senin (10/10/2011).

Pernyataan pace Diaz itu, seakan membelalakan mata hati kita, untuk lebih realistis memandang Freeport. Tak ada yang salah dengan tuntutan para karyawan itu. Karena mereka memang sudah mengabdikan seluruh tenaga dan pikirannya untuk perusahaan dengan harapan akan mendapatkan imbalan yang memadai bagi kesejahteraan hidup keluarganya.Tak ada yang salah pula dengan langkah antisipatif aparat keamanan, karena hal itu adalah tugas dan tanggung jawab mereka. Polisi memiliki tanggung jawab mengamankan situasi agar tidak semakin kacau, sehingga diambil langkah tegas,” demikian penjelasan Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Pol Ketut Untung Yoga Ana, tadi pagi (11/10/2011). Jika demikian keadaannya, berarti telunjuk kita tinggal diarahkan kemanajemen PT. Freeport yang terkesan lamban mengakomodasi tuntutan karyawannya. Dan yang lebih fatal adalah –sebagaimana diungkap Dias Gwijangge- PT. Freeport telah menjadikan aparat keamanan resmi milik rakyat Indonesia sebagai “tameng” mereka. Singkatnya, kita jangan mau diadu-domba. Adu-domba artinya : membuat dua orang berkelahi, dan orang ketiga-lah yang menang.

...???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline