Lihat ke Halaman Asli

Angket Menkumham Macan Kertas?

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Natalia Serani

ANCAMAN Koalisi Merah Putih (KMP) yang akan mengajukan usul Hak Angket terhadap Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly akhirnya menjadi kenyataan. Usul tersebut diserahkan kepada Ketua DPR Setya Novanto pada Rabu, 25 Maret.

Usul itu diteken 116 anggota dari 5 fraksi yang tergabung dalam KMP yakni Golkar, Gerindra, PKS, PAN dan PPP. Partai Demokrat yang biasanya condong ke KMP, kali ini tidak ikut teken. Tentu saja fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sepenuhnya absen dari angket tersebut.

Hak Angket untuk Menkumham terkait keputusan Yasonna terhadap Partai Golkar dan PPP. Menkumham mengakui keberadaan hasil Munas Golkar di Ancol Jakarta dibawah kepemimpinan Agung Laksono dan Zainuddin Amali. Di sisi lain kubu hasil Munas Golkar Bali dibawah duet kepemimpinan petahana Aburizal Bakrie (Ical)- Idrus Marham, terus melakukan perlawanan. Sedangkan soal PPP, sejak awal Yasonna mengakui kepengurusan hasil Muktamar Surabaya dengan Ketua Umum Romahurmuziy atau Romi, sedangkan di sisi lain ada kubu Ketua Umum PPP Djan Faridz sebagai hasil Muktamar Jakarta. Yasonna diduga melakukan pelanggaran dalam membuat keputusan terkait dua partai politik tersebut maka DPR pun berniat menyelidikinya.

Kubu KIH menolak Hak Angket tersebut dengan alasan soal Golkar dan PPP bukanlah ranah persoalan yang berdampak luas bagi kehidupan rakyat. Itu hanyalah masalah internal yang bisa diselesaikan melalui jalur Mahkamah Partai masing-masing atau lewat pengadilan. Tidak perlu lembaga DPR diseret-seret ke dalam persoalan internal partai politik.

Menggunakan Hak Angket tidaklah sulit. Dalam UU MD3 dan Tatib DPR disebutkan usul itu cukup ditandatangani 25 anggota DPR dari lebih dari satu fraksi, sudah bisa diajukan kepada pimpinan DPR. Tinggal rapat paripurna menyetujui atau tidak usul tersebut.

Karena usul Hak Angket membutuhkan persetujuan rapat paripurna DPR, maka marilah kita bermain-main dengan kalkulator menghitung kekuatan di DPR. Dari 116 anggota DPR yang mengusulkan Hak Angketrincian penandatangan adalah Golkar sebanyak 55 anggota, Gerindra 37, PKS 20, PPP 2 dan PAN 2 anggota.

Sejak Menkumham menandatangani keabsahan DPP Partai Golkar pimpinan Agung Laksono, arus balik anggota Fraksi Golkar DPR mulai mengalir. Paling tidak, pada rapat yang digelar DPP Golkar kubu Agung Laksono pada Selasa (24/3) di Kantor DPP Golkar Slipi Jakarta Barat, sekitar 29 anggota Fraksi Golkar menghadiri pertemuan tersebut. Itu bisa menjadi salah satu indikator mengapa yang meneken usul Hak Angket dari Fraksi Partai Golkar hanya 55 anggota. Padahal anggota Fraksi Golkar di DPR sebanyak 91 anggota dan Angket itu terkait langsung dengan kepentingan Golkar.

Sama halnya dengan Fraksi PPP. Dari 39 anggota Fraksi PPP di DPR hanya 2 yang meneken usul Angket terhadap Menkumham itu. Padahal Angket itu terkait langsung dengan PPP. Dengan hanya 2 anggota F-PPP yang meneken usul Angket berarti sebagian besar anggota Fraksi PPP tidak merasa berkepentingan dengan usul Angket tersebut.

Mari kita lihat sikap dua partai lain. Sikap Partai Demokrat seperti yang dikemukakan juru bicara Ruhut Sitompul mengatakan bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono telah menegaskan bahwa Demokrat tidak ikut dalam usul Angket tersebut. Demokrat tetap menjadi partai penyeimbang dan tidak masuk dalam salah satu dari dua koalisi yang ada yakni KMP dan KIH. Sikap Demokrat itu jelas nampak dengan tidak ada satu pun anggota Fraksi Partai Demokrat menandatangani usul Angket tersebut.

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pun jauh hari sudah menegaskan PAN tidak mau ikut membuat gaduh parlemen. PAN harus memberikan solusi. Rakyat jenuh kalau parpol bertengkar terus. Atau kalau DPR bertengkar terus kapan ngurus rakyatnya.

Soal ada anggota Fraksi PAN yang ikut tanda tangan usul hak Angket, Zulkifli yang juga Ketua MPR itu mengatakan bahwa itu baru usulan, bukan sikap resmi Fraksi PAN. "Kalau ada satu dua orang tanda tangan itu kan baru usulan. Tapi kan nanti ada sikap resmi partai dan fraksi. Itu kan belum jadi putusan resmi. Sikap saya jelas PAN tidak boleh ikut-ikutan," tuturnya.

Melihat perkembangan tersebut usul Angket akan gembos di tengah jalan alias di rapat paripurna DPR nanti. Jika Demokrat dan PAN sama sekali tidak ikut Hak Angket maka usul KMP itu akan gugur. Apalagi jika ditambah dengan sekitar 30 anggota Fraksi Golkar yang hijrah ke kubuh Agung Laksono. Sejak terpilih dalam hasil Munas Ancol, Agung menyatakan sikap tegas bahwa Golkar mendukung pemerintahan yang sah dan keluar dari KMP. Sikap itu diulangnya lagi ketika mengumumkan Surat Keputusan Menkumham yang mengesahkan kepemimpinannya.

Jadi pilar utama Angket itu adalah Gerindra dan PKS yang masih utuh. Jika anggota Fraksi Golkar pendukung usul Hak Angket sebanyak 60 anggota (dari 91), ditambah Gerindra utuh mendukung Angket sebanyak 73 anggota, PKS utuh sebanyak 40 anggota maka akan kalah telak di dalam rapat paripurna. Namun jika kita berasumsi ada anggota fraksi partai lain yang ‘lari’ dalam rapat paripurna penentuan usul Angket tersebut maka lain lagi hitungannya.

Mari kita menghitung lagi. Katakanlah jika Partai Demokrat (seluruhnya 61), PAN (48) serta PPP (39), masing-masing separoh anggota fraksinya tetap bertahan dalam ikatan KMP. Hitungannya 60 (Golkar)+73 (Gerindra)+40 (PKS)+30 (setengah dari anggota Fraksi Demokrat)+24 (setengah dari anggota F-PAN)+20 (setengah dari anggota F-PPP), sedangkan di kubuh KIH diasumsikan solid maka jumlah total pendukung usul Angket sebanyak 247 anggota. Tetap tidak cukup meloloskan usul Angket yang mestinya didukung minimal 280 anggota dewan.

Tetapi hitungan bahwa separoh dari anggota Fraksi Demokrat, PAN dan PPP ‘membelot’ dari kebijakan dan garis partai adalah teramat sangat moderat. Paling-paling 2 atau 3 anggota yang mencoba menyimpang. Selebihnya pasti memilih setia pada kebijakan partai.

Namun semua itu adalah hitungan matematis di atas kertas, sedangkan politik memiliki rumusan sendiri yang bernama kepentingan yang tidak bisa dipecahkan secara matematis.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline