Natalia Kristiani Maru'ao
Pendidikan Sosiologi 2019, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta
nataliakristiani18@gmail.com
PENDAHULUAN
Pada tahun ajaran baru tepatnya bulan Juli 2022, hampir seluruh sekolah di Indonesia mengadakan pembelajaran tatap muka. Pembelajaran tatap muka tentunya memberikan angin segar kepada para guru yang sudah lelah akan pembelajaran online, pembelajaran yang terkadang hanya satu arah, pembelajaran yang terkadang membuat kita bertanya-tanya apakah siswa tersebut mengerti atau tidak, apalagi ketika siswa tidak menyalakan kamera.
Ketika masalah satu sudah terselesaikan, tentu ada masalah lagi yang timbul. Salah satunya adalah demoralisasi pendidikan (kemerosotan akhlak), demoralisasi pendidikan yang timbul di kalangan para siswa ketika sekolah offline bukan tanpa sebab, ada hal-hal yang berkaitan erat dengan teknologi yang semakin canggih, dalam (Wahyuni 2021, 247-248) menjelaskan ada beberapa hal yang menjadikan siswa-siswi moralnya menurun salah satunya adalah pembelajaran daring yang dilakukan selama 2 tahun.
Sekolah yang terus menerus online, interaksi guru dan siswa yang sangat kurang, ditambah dengan siswa yang akhirnya lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain gadget, membuat menurunnya moral pada siswa.
Interaksi antara guru dan siswa yang mulai menurun dikarenakan pandemi, membuat guru kesulitan untuk bisa menyosialisasikan pendidikan karakter kepada siswa-siswi, seperti pendidikan karakter untuk menerapkan 5S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun) untuk ke semua warga sekolah, dan bukan hanya ke guru. Dalam gagasannya Durkheim bahwa lembaga pendidikan menjadi salah satu tempat adanya sosialisasi kepada individu (Peterson 1974, 39).
Namun akibat dari ketidakadanya interaksi yang menibulkan sosialisasi mengenai aturan yang berlaku, maka siswa pun akhirnya tidak terinternalisasi dengan baik mengenai pendidikan moral, dan terjadinya demoralisasi pendidikan pasca sekolah offline.
Demoralisasi pendidikan yang terjadi pada siswa-siswi inilah yang menjadi fokus permasalahan penulis, dengan semakin parahnya moral yang terbentuk oleh siswa dikhawatirkan dalam waktu beberapa tahun bangsa ini menjadi bangsa bar-bar.
Emile Durkheim pun dalam melihat lembaga pendidikan sebagai salah satu fakta sosial untuk mengubah seseorang atau sebagai proses peralihan dalam menentukan bagaiamana masyarakat tersebut bisa menciptakan tatanan bangsa yang ideal (Peterson 1974, 39-40).