Lihat ke Halaman Asli

Pudarnya Permainan Tradisional Anak

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1303919025913126703

“Kalau main video game, anak tidak pernah diajarkan menang atau kalah dengan jiwa yang besar. Tapi kalau di permainan tradisional, seperti petak umpet atau kelereng, anak jadi tahu rasanya menang kalah yang sesungguhnya”, jelas Ilham Triyastanto (20), selaku ketua Panitia Pameran Tahunan FJK. Kini, permainan tradisional anak mulai jarang ditemui. Lebih banyak yang menyukai permainan video game daripada harus berpanas-panas di lapangan.

Berlarinya perkembangan teknologi berdampak pada semua aspek, termasuk aspek sosial dan psikologis. Hal ini dapat dilihat dari sisi teknologi permainan anak-anak yang semakin hi-tech. Berawal dari munculnya permainan video game, seperti Nitendo, Sega, serial Play Station, hingga video game di ponsel, membuat anak-anak tergila-gila menggandrungi permainan ini setiap hari. Kemudian munculnya game online yang dapat membuat anak SD tidak pulang ke rumahnya hanya untuk bermain di dunia internet dengan teman mayanya.

Dampak negatif ini membuat anak-anak semakin anti-sosial. Jarang bermain dengan teman-temannya, karena lebih suka bermain dengan video game atau komputer. Parahnya lagi, permainan tradisional anak semakin pudar dari tahun ke tahun. Keprihatinan ini dirasakan oleh sekelompok komunitas fotografi di FISIP Atma Jaya, bernama FJK (Fotografi Jurnalistik Klub).

Dalam pameran tahunannya kali ini, FJK mengusung tema Play’ On. Tema ini dapat dibaca dalam dua bahasa, Bahasa Inggris menjadi Play’ On dan Bahasa Jawa menjadi Playon. Keduanya berarti sama, yakni permainan. Pameran foto jurnalistik yang dibuka mulai Senin, 11 April 2011 dan ditutup Rabu, 13 April 2011 kali ini diketuai oleh Ilham Triyastanto.

“Pameran ini bertujuan menyadarkan masyarakat, khususnya mahasiswa, kalau permainan tradisional anak lebih bernilai sosial bagi perkembangan anak”, ujar Ilham, selaku Ketua Panitia. “Kalau main video game, anak tidak pernah diajarkan menang atau kalah dengan jiwa yang besar. Tapi kalau di permainan tradisional, seperti petak umpet atau kelereng, anak jadi tahu rasanya menang kalah yang sesungguhnya,” tambahnya. Untuk itu, pameran ini menghadirkan potret anak-anak yang masih menjaga permainan tradisional. Seperti, petak umpet, kelereng (gundhu), layang-layang, dakon, lompat tali dan lainnya.

Pameran foto tiap angkatan yang berlokasi di Karta  Pustaka kali ini rata-rata merupakan foto essay atau foto bercerita, dan hanya dua foto yang  merupakan foto single. “Tiap anggota diwajibkan hunting foto dengan tema yang sudah disepakati. Setelah itu, baru dikurasi oleh para kurator foto dan teks”, jelas Daru (20), Ketua FJK periode 2010-2011. “Kalau udah sesuai dan lolos kurasi, baru boleh dipamerkan. Tapi kalau kurator belum meloloskan, ya harus hunting lagi. Hehe..”, tambahnya sembari senyum dengan para tamu yang datang.

Kurator yang dipilih FJK juga merupakan anggota FJK senior. Michael Edo sebagai kurator teks, sedangkan Setyo Adi dan Gabriel Ade sebagai kurator foto. “Sebagai pemula, karya foto mereka sudah lumayan. Walau ada yang perlu diperbaiki, seperti kurangnya eksekusi cerita dan harus lebih rajin hunting foto”, jelas Adi, salah satu kurator foto yang juga mahasiswa FISIP Atma Jaya. Ia mengkurasi bagian teknik foto, sedangkan Ade mengkurasi bagian editing, angle, dan komposisi.

Tiap anggota bebas memilih ide foto yang ingin dipamerkan, asal sesuai dengan tema. “Aku memilih layangan karena dalam permainan ini punya banyak filosofi. Kalau kita main layangan, kita pasti ingin layang-layangnya cepat naik tinggi.”, cerita Daru. “Saat menerbangkannya, kita butuh angin. Tapi angin bisa jadi lawan atau kawan. Ia bisa menerbangkan layangan kita tinggi ke awan, tapi juga bisa menjatuhkannya. Disini, kita belajar tentang bagaimana kita menggapai usaha dan cita-cita setinggi kita menerbangkan layang-layang.”, tambahnya menggebu-gebu.

Pameran perdana angkatan 2009 ini terbuka untuk umum, baik mahasiswa atau peminat fotografi lainnya. FJK juga mengundang komunitas fotografi, khususnya yang berada di universitas lain. Tamu yang datang terbanyak memang teman-teman dari FISIP Atma Jaya, salah satunya Aring, yang juga merupakan anggota APC (Atmajaya Photography Club). “Tema yang diangkat cukup menarik dan eksentrik. Esai yang ditampilkan juga jelas sehingga pesan jelas tersampaikan”, kesannya terhadap pameran ini.

Lain lagi bagi Dom, salah satu fotografer freelance yang juga senior FJK. “Foto-foto yang dipamerkan belum dikemas secara menarik, masih terlalu biasa. Belum ada foto yang mencuri perhatian saya. Hehe..”, ujar Dom sembari menulis kesan dan pesan di kertas yang disediakan panitia. Setelah berjalan keliling, para tamu yang hadir diberi kertas yang dapat ditulis kesan pesan tentang pameran ini. Kemudian ditempel di dinding, yang dapat dibaca semua orang.

13039193252071036937

Pada acara pembukaan, para tamu yang hadir disuguhi penampilan band lokal dan musisi FISIP Atma Jaya, seperti Tranquil Garden, Cati, Dani dan Prast. Sayangnya, sound system yang disediakan kurang bagus sehingga suara yang dihasilkan jelek. Tetapi para tamu tetap menikmati acara, ditemani makanan kecil yang disuguhkan cuma-cuma. Selain itu, pameran yang bertempat di rumah Joglo ini dirias dengan mainan anak-anak jaman dulu, seperti kapal otok-otok yang dapat kita temui saat pasar malam.

Pameran ini dapat terlaksana dengan baik tak lepas dari kerja keras dan usaha para panitia, yang merupakan anggota FJK angkatan 2010. Dengan dress code batik, mereka melayani tamu yang hadir. “Karena yang kerja anak-anak baru, jadi komunikasi masih kurang. Yang kerja cuma dikit, jadi konsepnya minimalis gini”, ujar Tarigan, selaku panitia divisi Perlengkapan.

Walaupun masih belum memuaskan peminat fotografi di Jogja, pameran FJK kali ini memberik kesan yang menarik bagi para tamu yang hadir. Semakin banyak kesalahan, semakin banyak pembelajaran yang dapat diambil. Dengan mengambil tema-tema krusial yang terjadi di masyarakat, pameran foto yang diadakan jauh lebih menggugah sisi emosional dan sosial. Semoga dengan diadakannya pameran foto FJK Play’On kali ini, para orang tua, dan khususnya mahasiswa sebagai agen pembaharu, dapat menularkan kembali serunya permainan tradisional kepada anak-anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline