Permintaan akan energi terus meningkat mengikuti jumlah penduduk yang terus bertambah dan perubahan gaya hidup. Dalam rangka mencapai ketahanan energi, hampir seluruh sektor kehidupan Indonesia masih bergantung kepada energi fosil. Pada tahun 2018, transportasi 99,9% menggunakan bahan bakar minyak, sektor industri didominasi energi fosil dengan 35% batu bara dan 33% gas,
serta sektor komersial dan rumah tangga memanfaatkan listrik (60%) didominasi dari sumber energi batubara (Yusgiantoro, 2021). Tidak hanya dalam negeri, kekayaan batu bara Indonesia kerap menjadi jawaban
ketidak mampuan negara lain untuk menjamin pasokan energinya. Dalam Handbook of Energy and Economy Statistic of Indonesia 2020, Indonesia mengekspor 127,79 juta ton batu bara atau sekitar 32% dari
pasokan Cina dan India menempati posisi ke-2 sebesar 97,51 juta ton dengan perkiraan 24% dari pasokan India (ESDM, 2020). Angka ini menandakan bahwa batu bara tidak hanya berpengaruh untuk dalam negeri tetapi menjadi tompangan hidup negara lain.
Kebutuhan besar akan batu bara dan melimpahnya kekayaan Indonesia seharusnya memberikan posisi yang baik bagi Indonesia itu sendiri dan Indonesia diproyeksikan menjadi kekuatan besar bagi perekonomian dunia (Nugroho, 2017).
Cadangan yang cukup besar, harga yang dinilai ekonomis, dan teknologi ekploitasi yang relatif sederhana menjadikan batu bara sebagai komoditas yang menjanjikan (Nugroho, 2017). Cadangan terbukti batu bara Indonesia mencapai 70 tahun dan apabila digabungkan dengan candangan sumber daya maka kemungkinan penambahan cadangan menjadi 120-200 tahun (Yusgiantoro, 2021).
Hal ini dapat memberikan penjelasan bahwa batu bara menjadi pilihan yang tepat dalam pemenuhan energi. Secara singkat, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menggunakan batu bara sebagai bahan bakar boiler
dan memanaskan air yang kemudian menghasilkan uap. Uap tersebut berfungsi untuk menggerakan turbin dan turbin akan menggerakan generator sehingga menghasilkan listrik.
Permasalahan timbul dari PLTU yang dapat menyebabkan hujan asam dan menyumbang emisi CO2, NO2 dan SO2, serta partikel halus beracun (Supriyadi, 2021). Kritik datang dan menjadi perhatian khusus bagi Indonesia bagaimana memanfaatkan tulang punggung pasokan energi nasional yang tidak sejalan dengan target yang telah dibuat Indonesia.
Target tersebut lahir dari keaktifan Indonesia dalam politik global yang direfleksikan dengan Indonesia berkomitmen dalam Nationally determined contributions (NDC) 2030 dan target jangka panjang Net Zero Emissions (NZE) 2060. Isu lingkungan dalam hal ini perubahan iklim memerlukan langkah sinergis seluruh negara. Apabila negara tidak ikut berkomitmen,
rancangannya tidak akan berkembang lebih baik. India, salah satu negara dalam 5 besar negara dengan emisi karbon teratas dunia, masih belum berkomitmen dengan hal ini (Caineng dkk, 2021).