Di era modern, peran gender sering kali dianggap semakin fleksibel. Namun, perdebatan mengenai perempuan di ranah domestik dan laki-laki di ranah publik masih hangat dibicarakan. Sebagian orang mempertanyakan, apakah peran tradisional ini masih relevan, atau sudah saatnya meninggalkan batasan tersebut?
Dalam masyarakat tradisional, perempuan sering diasosiasikan dengan tanggung jawab domestik, sementara laki-laki lebih banyak diasosiasikan dengan peranan publik. Namun, dengan semakin berkembangnya pemahaman akan kesetaraan gender, banyak yang mulai mempersoalkan relevansi peran ini di masa sekarang. Apa sebenarnya yang mendorong perubahan ini, dan sejauh mana peran gender masih dibatasi oleh stereotip?
Transformasi Peran Gender: Dari Domestik Menuju Publik
Pada dekade terakhir, perubahan signifikan dalam peran gender semakin terlihat di berbagai lapisan masyarakat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia meningkat menjadi 55,5 persen dari 50,8 persen di tahun 2015. Ini menunjukkan lebih banyak perempuan yang aktif di ranah publik atau profesional, yang dulunya didominasi laki-laki.
Namun, meski angka partisipasi meningkat, perempuan tetap menghadapi tantangan dalam ranah publik, seperti adanya kesenjangan upah, kesempatan promosi yang terbatas, serta diskriminasi berbasis gender. Sebagai contoh, dalam sektor di Indonesia, posisi manajerial yang dipegang perempuan hanya sebesar 32 persen. Angka ini menunjukkan bahwa batasan dalam peranan publik masih ada, meskipun perempuan semakin banyak yang terlibat di dalamnya.
Tantangan di Ranah Domestik
Tidak hanya di sektor publik, peran gender tradisional juga berdampak di ranah domestik. Meskipun banyak perempuan yang berkarier, beban domestik, seperti mengurus rumah tangga dan anak-anak, masih seringkali dianggap tanggung jawab perempuan. Hal ini membuat banyak perempuan bekerja yang mengalami beban ganda atau kerja dua kali, yakni harus mengelola pekerjaan profesional sekaligus tanggung jawab domestik.
Riset dari UN Women di tahun 2022 menunjukkan bahwa perempuan menghabiskan watu tiga kali lebih banyak untuk pekerjaan rumah tangga dibandingkan laki-laki. Meski sebagian laki-laki mulai ikut berperan dalam pekerjaan domestik, pada data ini memperlihatkan bahwa beban domestik masih didominasi oleh perempuan. Padahal, bagi banyak pasangan muda, konsep dari “kerja sama dalam rumah tangga” sudah mulai menjadi hal yang umum.
Mengapa Batasan Domestik dan Publik Perlu Dipertanyakan?
Relevansi peranan gender tradisional kini dipertanyakan karena pandangan tentang kesetaraan semakin meluas. Kesetaraan gender tidak lagi sekedar wacana, tetapi sudah menjadi bagian dari nilai modern yang diupayakan dalam kehidupan sehari-hari. Para ahli menyebutkan bahwa membatasi peran gender tidak hanya membatasi peluang individu, tetapi juga menghambat perkembangan sosial dan ekonomi.
Menurut psikolog sosial Henri Tajfel, identitas sosial sesorang terbentuk melalui peranan yang mereka jalani dalam masyarakat. Ketika peran-peran ini dikekang oleh norma-norma tradisional, identitas sosial mereka pun menjadi terbatas sesuai dengan harapan-harapan tersebut. Hal ini dapat menghalangi individu, baik pria maupun wanita, untuk mengeksplorasi potensi diri mereka sepenuhnya.