Lihat ke Halaman Asli

Remaja dan Self-Diagnose

Diperbarui: 30 September 2021   17:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Nama : Nasywa Salsabilah

NIM : 202110230311432

 

“ Help Me, it’s like the walls are caving in, sometimes i feel like giving up, no medicine is strong enough, someone help me. “ ( In My Blood – Shawn Mendes )

Penggalan lirik diatas bukan hanya lirik lagu biasa. Lagu yang dinyanyikan musisi muda bernama Shawn Mendes ini, berisi tentang seseorang yang berjuang untuk bangkit dari gangguan mental. Lagu ini sangat menginspirasi dan sangat mudah diterima dikalangan masyarakat terutama remaja.

Saat ini banyak sekali permasalahan yang dialami oleh remaja, khususnya kesehatan mental. Kesehatan mental ini, sudah menjadi salah satu masalah yang cukup kompleks bagi orang-orang yang mengalaminya. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia ( WHO, 2001 ) mendefinisikan kesehatan adalah kondisi fisik, mental, dan sosial yang sejahtera tidak hanya ketiadaan penyakit atau kecacatan.

Namun, saat ini muncul permasalahan yang mungkin cukup baru tentang keterkaitan remaja dan kesehatan mental. Sekarang ini, internet dan media sosial seperti Instagram, TikTok, Twitter dan banyak lainnya, merupakan salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.  Banyaknya konten dari beberapa media sosial terkait kesehatan mental, tentu bisa membantu remaja dalam memahami hal-hal apa saja yang perlu diketahui tentang kesehatan mental.

Tapi ada akibat negatif, dari beberapa konten tentang bagaimana cara mengenali atau tanda-tanda mengidap  mental illness seperti bipolar disorder , panic attack , depresi, dan lainya yang membuat banyak remaja berpikir beberapa tanda yang disebutkan, mungkin sama dengan apa yang dirasakan atau sedang dialami mereka, seperti saat mereka sedang merasakan moody atau mood yang tiba-tiba berubah, mereka mendefinisikan dirinya terkena bipolar disorder.  Tentunya hal ini sudah membuat remaja mendiagnosis dirinya sendiri, melalui kecocokan yang ada dalam konten dengan apa yang sedang dirasakannya saat ini.

Self-Diagnose sendiri merupakan munculnya tendensi seseorang untuk mendiagnosis diri mereka sendiri. Menurut Yolanda Nancy ( 2019 ) , Mendiagnosa diri sendiri adalah suatu hal yang sulit karena seseorang tidak bisa melihat dirinya sendiri secara obyektif. Sangat disayangkan lagi saat remaja melakukan self-diagnose tanpa pengetahuan pada bidang kesehatan. Seperti jika remaja merasa bahwa dirinya depresi,secara tidak sadar dia juga membawa dampak negatif bagi sekitarnya.

Menurut para dokter dan ahli self-diagnose ini sangat tidak dianjurkan, karena bisa mengakibatkan kesalahan fatal apabila self-diagnose yang dilakukan tidak benar, serta penanganan yang kurang tepat terhadap hal tersebut. Dilansir dari halodoc, self-diagnosis juga menyebabkan penderita mengalami kekhawatiran yang tidak perlu. ( dr. Fadhli Rizal Makarim, 2020 ).

Maka dari itu, kirta harus mengerti kebijakan cara mendiagnosa dengan mendatangi dokter, psikolog atau psikiater yang mampu memahami tentang penyakit medis dan mental yang jarang orang awam ketahui. Penanganan yang baik dari para ahli pada bidangnya terutama penyakit mental akan menimbulkan efek yang lebih signifikan melalui terapi ( 2019 ) .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline