Lihat ke Halaman Asli

Ekonomi di Desa Buntu Wonosobo

Diperbarui: 5 Juni 2024   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

parang kencana wonosobo/dokpri

Pada tanggal 5 Maret 2024 sampai 9 Maret 2024, penulis beserta teman sepenelitian lainnya melakukan observasi dan pengamatan terhadap Desa yang kami tempati selama local immersion di-Jawa Tengah, yakni desa Buntu, Wonosobo. Selama di sana, penulis sering berkomunikasi dan membangun relasi dengan para penduduk. Dari hasil percakapan dan penelitian yang dilakukan, kita dapat menyimpulkan bahwa masalah yang dialami oleh penduduk desa Buntu bukanlah keterbatasan sumber daya, tetapi perekonomian yang tidak stabil menyebabkan perbedaan terhadap kebutuhan yang tidak tercukupi. 

Penulis tidak pernah berekspetasi tinggi apabila harus tinggal disuatu desa terpencil dan masih kental adat dan budayanya, tetapi, selama disana, terlihat banyaknya perbedaan, mulai dari fisik rumah yang kita amati, kita bisa langsung menebak kondisi ekonomi mereka.Selama tinggal didesa Buntu, penulis tinggal dirumah yang menurutnya cukup. Namun, pasti masih ada orang yang merasa bahwa rumah tersebut belum cukup dari kata "tercukupi". 

Penulis sangat menghargai semua yang dicadhong oleh ibu Jumiah disana, namun dari hasil pengamatannya, kebutuhan ekonomi sekunder yang dimiliki oleh beliau jauh dari kata tercukupi. Mulai dari kebutuhan sekunder di-dunia hiburan, beliau tidak memiliki handphone ataupun televisi, dikarenakan atap yang sering dibanjiri hujan, antena untuk televisi rusak dan menghambat kebutuhan hiburan yang seharusnya beliau miliki.
Penulis juga mengobservasi rumah lain, seperti rumah bapak Taulo yang seringkali dijadikan basecamp untuk latihan projek kami disana. Pemilik rumah termasuk dalam kategori ekonomi yang cukup. Mulai dari primer maupun sekunder, kebutuhan tersebut sudah dipenuhi oleh mereka. Bahkan fasilitas yang diberikan bagi tamu juga sudah cukup baik dan nyaman, dan tentunya rumah tersebut masuk dalam kategori rumah maer, namun masih dengan nuansa pedesaannya.

parang kencana wonosobo/dokpri

Dari kedua kondisi ekonomi yang penulis teliti, penulis dapat mengetahui bahwa perekonomian suatu rumah tangga masih dikelilingi dengan perbedaan meski pekerjaan mereka masih dalam kategori yang sama. Tentunya, dari hasil observasi dan percakapan yang penulis lakukan, adanya alur yang berbeda dari perjalanan kehidupan kedua belah pihak. 

Namun, dengan ini kita dapat tahu bahwa perekonomian bukanlah suatu hal yang menjadi penghambat bagi mereka untuk bercakap ria dan juga berteman antara satu sama lain, mereka bahkan saling menolong satu sama lain.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa perbedaan fasilitas yang mereka berikan tentunya bisa menjadi bentuk hambatan serta kekurangan bagi sebagian dari kita sebagai wisatawan yang menginap di rumah warga. Dalam teori pertumbuhan klasik, mereka beranggapan bahwa suatu negara akan mengalami penurunan pertumbuhan perkonomian seiring bertambahnya populasi serta sumber daya yang terbatas.  

Bertolak belakang dengan pendapat Adam Smith yang berteori bahwa peningkatan populasi bisa memperbanyak output dan hasil, David Ricardo beranggapan bahwa pertumbuhan penduduk yang besar dapat berdampak pada kelebihan tenaga kerja sehingga upah yang diberikan akan menurun.  Untuk perekonomian di-Wonosobo, saya menyetujui teori David Ricardo. Karena, penduduk Wonosobo mengalami fluktuatif terhadap kinerja mereka, sehingga upah yang diberikan tidak stabil

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline