Lihat ke Halaman Asli

Nasya RJauza

Mahasiswa

Mengupas Filosofi dan Makna di Balik Larungan Suro: Tradisi Sakral Desa Sukodermo

Diperbarui: 28 Agustus 2023   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar 1. Persiapan Larungan Suro (Sumber: Dokumen Pribadi)

Larungan Suro adalah sebuah upacara tradisional atau tradisi yang dilaksanakan di Punden Nuswantoro, Desa Sukodermo, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2005 oleh masyarakat setempat. 

Tradisi ini memiliki sejarah panjang mengenai hubungan antara manusia dengan alam. Tradisi ini tidak hanya menarik perhatian warga lokal saja, tetapi juga warga dari berbagai kota mulai dari Kota Madiun, Probolinggo, Jember, dan sebagainya.

Larungan Suro memiliki filosofi utama yang mengandung pesan mendalam tentang pembersihan jiwa dan watak manusia. Filosofi ini berasal dari keyakinan bahwa manusia memiliki sifat-sifat negatif dan jiwa yang kotor yang perlu dibuang atau disucikan yang diimplementasikan dengan cara menyembelih hewan. 

Bagian kepala dan tulang hewan yang telah disembelih tersebut kemudian dilarung di Pantai Ngliyep sebagai simbol membuang sifat atau watak buruk manusia serta hawa nafsu yang ada dalam diri manusia. Sedangkan bagian dagingnya dimasak untuk dimakan bersama-sama. 

Hewan yang dapat digunakan dalam acara Larungan Suro ini antara lain lembu, kerbau, atau kambing. Tradisi ini dilaksanakan pada malam hari di hari ke-15 bulan Suro saat purnama, hari yang dianggap sakral dalam budaya Jawa. 

Selain itu, tradisi ini dilaksanakan dengan harapan diberi keselamatan, kemakmuran, dan kesehatan. Semuanya memiliki harapan untuk "urip mulyo, mati sempurno" yang berarti hidup mulia, mati sempurna.

Ada berbagai tahapan yang dilakukan sebelum mengikuti upacara Larungan Suro. Pertama-tama peserta harus menjalani "ruwat". Ruwat adalah ritual mandi kembang yang bertujuan untuk membersihkan diri dari bala. 

Ruwat dilakukan bagi orang yang mengalami kekurangan rezeki, sulit mendapatkan jodoh, sakit secara bergantian dalam satu rumah, dan sering mendapatkan permasalahan antar saudara. Akan tetapi, biasanya ruwatan ini diikuti oleh keluarga yang memiliki anak dengan pembagian sebagai berikut.

1. Anak tunggal laki laki atau perempuan (Ontang-anting)

2. Dua anak perempuan (Nompo Jodang)

3. Dua atau empat anak laki laki (Nompo Regol)

4. Tiga anak dengan urutan laki-laki, perempuan, laki-laki (Sendang Kapit Pancuran)

5. Tiga anak dengan urutan perempuan, laki-laki, perempuan (Pancuran Kapit Sendang)

6. Lima anak laki laki (Pandawa)

7. Lima anak perempuan (Pandawi)

Peserta mengenakan pakaian khusus (kain putih atau kain ihram) dan dimandikan oleh tokoh spiritual sembari membacakan doa. Bagian yang dimandikan terbagi menjadi tiga, yaitu kepala, hati, dan kaki. 

Bagi masyarakat Jawa, bagian-bagian tersebut memiliki filosofi dimana bagian tubuh manusia itu terdiri dari Sanghyang Wenang (bagian atas atau kepala), Sanghyang Wening (bagian tengah atau dada), dan Sanghyang Ciptaning (bagian bawah atau kaki). Tiga bagian tersebut adalah hal yang selalu kita bawa dan mengikuti kita kemanapun kita pergi, sehingga bagian-bagian inilah yang harus dibersihkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline