Lihat ke Halaman Asli

Tanggapan Masyarakat Desa Sidowayah Terhadap Larangan Menikah di Bulan Suro Melalui Pendekatan Agama

Diperbarui: 4 Juni 2024   03:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Muharram adalah nama bulan dalam bahasa Arab yang terdiri dari dua belas bulan dalam satu tahun. Nama bulan dikenal dan ditentukan oleh bangsa Arab sebelum lahirnya Islam pada abad ke-7 Masehi. Setelah Islam lahir di tanah Arab (Mekkah), maka dalam ajaran Islam terdapat banyak hukum yang sangat erat kaitannya dengan bulan-bulan Arab.Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW adalah agama yang menekankan dan menghargai waktu.

Islam adalah agama yang fleksibel, mudah dipelajari dan tidak menyulitkan umatnya. Di dalam Al-Qur'an sudah jelas mengatur tentang hukum perkawinan, masalah pandangan hukum Islam tentang larangan menikah di bulan Suro, dalam Islam tidak ada yang namanya nikah di bulan Muharram dan juga tidak ada peraturannya. tentang waktu untuk menikah. Semua hari baik untuk melakukan perkawinan. Dan Allah tidak menjadikan hari sial diantara hari yang tujuh itu.

Bagi masyarakat Islam-Jawa, kemuliaan bulan Suro menyebabkan mereka percaya bahwa tidak boleh melakukan kegiatan tertentu seperti pernikahan, khitanan dan hajatan lainnya. Namun, masyarakat Jawa percaya bahwa bulan suro itu sangat mulia dan dimiliki oleh Allah. Karena kemuliaannya yang luar biasa, mereka menganggap bulan itu terlalu lemah untuk melakukan kegiatan tertentu. 

Jadi, bulan Suro dianggap sebagai bulan hajatan bagi keraton, dan orang biasa biasanya melakukan acara tertentu. Mayoritas masyarakat tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang pada bulan Suro bukan karena bulan itu sangar atau berbahaya,mendatangkan petaka dan lain-lain namun dianggap terlalu mulia pada bulan ini, bagi hamba manusia yang biasa. Sehingga merasa kurang pantas memiliki hajatan pada bulan ini.

Tidak ada ayat dalam Al-Qur'an atau Hadist yang melarang pernikahan pada hari atau bulan tertentu dalam syariat Islam. Meskipun demikian, jika seseorang menggunakan hitungan jawa, primbon, atau metode lainnya untuk menentukan hari atau bulan dengan keyakinan bahwa itu memiliki nilai-nilai keramat atau praktik syirik, maka penentuan ini tidak dibenarkan oleh syariat Islam.

Tidak ada hal semacam itu dalam agama Islam tentang hari, bulan, atau weton. Seperti dasar pernikahan dalam Al-Quran, tidak ada perintah atau larangan tentang weton, hari atau bulan untuk menentukan jodoh atau melakukan pernikahan.
Namun, Setiap daerah pasti memiliki tradisi yang berbeda, melekat dan mendarah daging. Tradisi tidak bisa dihilangkan begitu saja karena sudah dilakukan oleh nenek moyang sebelumnya. 

Seperti halnya dalam desa sidowayah yang masih melihat neptu atau penanggalan sebagai sarana untuk menentukan pelaksanaan perkawinan agar calon jodoh dijauhkan dari segala mara bahaya, karena di dalam neptu (kalender) yang ditentukan mengandung unsur syarat yang diyakininya membawa keselamatan dalam hidup. Biasanya orang yang ingin melaksanakan akad nikah, mereka akan mendatangi orang tua atau sesepuh yang bisa menghitung tanggal lahir dalam adat Jawa.

Contohnya  misal laki-laki lahir Senin Kliwon (4 + 8 = 12), sedangkan perempuan Kamis Pahing (8 + 9 = 17) dilihat dari angka jelas perempuan lebih banyak hasilnya, maka dalam berumah tangga nantinya perempuanlah yang lebih menguasai dalam mengambil keputusan.Berlaku di kalangan masyarakat luas, khususnya bagi orang Jawa, setiap kali menjodohkan anak, mereka harus menghitung kelahiran anaknya dan calon istri atau suaminya. Jika perhitungannya sesuai dengan standar yang ada, maka akan dilakukan perjodohan, namun jika yang terjadi sebaliknya, padahal kedua mempelai saling menyukai, biasanya orang tua melarang anaknya untuk melangsungkan pernikahan.

Di Desa Sidowayah Kec.Panekan Kab.Magetan belum pernah terjadi pernikahan di bulan Muharram, mereka tidak berani melaksanakan perkawinan atau hajatan di bulan Suro karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Asal muasal kebiasaan ini belum diketahui secara pasti. Orang-orang hanya mengatakan bahwa mereka mewarisi kebiasaan ini dari nenek moyang mereka seperti yang sudah ada sejak orang-orang sebelumnya. Dan jika kepercayaan tradisional dilanggar, seseorang akan menanggung akibatnya.

Kesimpulan yang dapat diambil yakni masih adanya pola pikir masyarakat Desa Sidowayah Kec.Panekan Kab.Magetan tentang larangan menikah di bulan Suro dan sebagian masyarakat beranggapan apabila tetap dilaksanakan praktik nikah maka akan terjadi musibah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline