Lihat ke Halaman Asli

Sate Telor : Nostalgia Jajanan Masa Kecil

Diperbarui: 18 April 2017   14:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : Sate telor, Sumber : Dokumentasi pribadi

Beberapa hari yang lalu, ketika saya menghabiskan akhir pekan di lokasi Car Free Day (CFD), di Jalan Ijen, Malang – lokasi yang ramai dan cukup murah bagi mahasiswa khususnya, untuk membelanjakan uang. Sebenarnya bukan bagi mahasiswa saja, tempat ini juga cocok bagi anak-anak dan keluarga. 

Pasalnya di tempat ini berbagai macam penjual, terlebih yang menjual jajanan dan makanan berat, beraksi memasang muka se-meyakinkan mungkin ditambah dengan atraksi skillmenumis, memanggang, menyeduh, meramu aneka minuman segar, dan mengemas dalam bentuk yang unik, cukup sudah membuat anak-anak dan penggemar kuliner menelan ludah. Ada jajanan tradisional hingga modern. Makanan khas Indonesia hingga kebarat-baratan. Tapi, bukan tentang CFD atau segala hal yang bisa dinikmati tersebut yang ingin saya bicarakan di sini. Let’s talk about“Sate Telor”.

Sate telor ini cukup mengusik saya – sebab terakhir saya menikmati jajanan ini saat berusia kurang lebih 12 tahun. Ah, entahlah. Sudah terlalu lama, dan lupa kapan pastinya. Anggap saja saat berusia 12 tahun. Dan ya, ibu penjual sate tersebut seakan memanggil-manggil. Ayo mbak, cobalah. Setidaknya, bernostalgia lah dengan masa kecilmu. Toh jajanan ini legendaris sekali saat kecil dulu. Tidak-tidak. Jangan dibayangkan ibunya beneran manggil-manggil. I’m just kidding.

Well,ada yang belum tau tentang sate telor?. Baiklah, akan saya jelaskan sedikit. Sate telor yang saya maksud di sini bukan berupa telor dalam bentuk bulat, lantas ditusuk satu demi satu dan dibakar dalam bara api. Bukan seperti itu gaes. It’s different.

Akan lebih mudah memahami arti sate telor melalui prosesnya kali ya. Jadi, pertama telur ayam, dikocok hingga benar-benar encer. Kedua, tangan kanan penjual memegang sebuah kayu (untuk menggulung telor), sedangkan tangan kirinya akan menuangkan 1-2 sendok telur yang sudah dikocok tadi, ke dalam wajan yang berisi minyak panas. Lantas, dengan lihai, dan skilltingkat atas, penjual akan menggulung-gulung telur tersebut. Setelah itu, ditiriskan sebelum akhirnya dibungkus dan dibumbui dengan saus serta kecap. Yup, udah paham sekarang?

But, there is something difference of“sate telor”when I was 12 years old and now.  Ada yang beda dari sate telor jaman dulu, jaman umur 12 tahun, sama sekarang. Bedanya ada pada harga. Kalo dulu seratus rupiah sudah dapat satu tusuk sate telor, sedangkan sekarang dijual dengan harga seribu rupiah per tusuk. Bayangkan kalo tetep seratus rupiah? Kan bisa puas menikmatinya. Hehehe, I’m just kidding. Dulu juga waktu kecil, makanan ini lebih populer disebut sebagai “dadar gulung”.

Soal rasa, sama saja sepertinya. Rasanya tetap telor. Because it was made from egg, right?. Hanya saja, dulu kenikmatannya lebih. Masa kecil, saat cerewet dan request-nya macam-macam ke abang penjualnya, minta ditambah telornya lah, minta ditambah sausnya lah, minta acara nyoba bikin atau gulung-gulung sate sendiri lah – sampai pernah kena minyak panas gara-gara sok nyoba bikin sendiri. Itu yang menjadikan kenikmatannya lebih. Kalo sekarang, boleh sih request macam-macam, tapi tau diri aja lah, udah gedhe. Hehehe.

Nah, sekarang sudah siang, sudah jam makan siang, menikmati sate telor sebagai appetizerboleh juga. Hanya saja, menemukan pedagang kaki lima yang menjual sate telornya yang susah. Namun, akan lebih mudah jika menjadikan tulisan ini sebagai appetizer juga. Happy reading.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline