Lihat ke Halaman Asli

Guru dan Pendidikan Moral

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Ketika membuka media social di internet, ada tulisan menarik. “Guru dibayar murah untuk memperbaiki moral anak, artis dibayar mahal untuk merusak moral anak”. Sedikit agak geli kalau membaca tulisan tersebut. Pertanyaan saya, guru yang mana? Maaf, tidak bermaksud mendikreditkan guru yang benar-benar memperbaiki moral anak.

Sejak pemerintah mencanangkan ujian nasional dengantarget nilai kelulusan, beberapa lembaga pendidikan berlomba-lomba menambah jam belajar, diluar jam sekolah. Tujuannya, agar siswanya kelak bisa lulus pada ujian nasional. Jam belajar Matematika misalnya. Pada jam sekolah, mata pelajaran Matematika adalah mata pelajaran yang mempunyai jam pelajaran paling banyak. Tapi oleh pihak sekolah, masih ditambah dengan belajar privat di luar jam sekolah. Ilmu Pendidikan Alam (IPA), Ilmu Pendidikan Sosial (IPS), dan bahasa.

Tapi, beberapa lembaga pendidikan yang notabene bukan pendidikan agama, tidak ada yang menambah jam pelajaran pendidikan moral (akhlak). Padahal, pemerintah sendiri, menginginkan kalau lulusan pendidikan di Indonesia, adalah pelajara yang bermoral dan bermartabat. Tapi kenapa, justru nilai matematika dan ipa lebih focus untuk dikejar. Bahkan sampai dikejar melalui kegiatan olimpiade.

Pihak sekolah sangat bangga, jika siswanya berhasil masuk di olimpiade, bahkan kalau perlu sampai tingkat internasional. Tapi mereka tidak terlalu ambil pusing, jika anak didiknya ada yang nakal. Jika ada siswa terkana kasus asusiala misalnya, langsung dikeluarkan dari sekolah. Bukan diperbaiki akhlaknya, tapi malah dikeluarkan. Hal ini tidak akan membuat anak semakin baik, tapi justru malah menjadikannya semakin jauh dari dunia pendidikan.

Ketika ditanya kenapa jam mata pelajaran moral (akhlak) justru sedikit. Jawabnya bahwa pendidikan moral lebih banyak dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, siswa-siswa tidak banyak yang mencerminkan akhlak yang baik dalam kehidupannya sehari-hari. Lihat saja, siswa setingkat SMP ketika bertemu gurunya, tidak ada hormat-hormatnya. Cara menyapanya, tidak seperti manyapa guru, tapi seperti menyapa teman.

Sekarang, jika guru itu mencubit sebagian anggota tubuh siswanya, dianggap pelecehan hak asasi manusia. Padahal, dulu, jika ada siswa yang ditampar, atau bahkan diludahi mulutnya oleh gurunya, dianggapnya barokah. Karena siswa merasa bahwa kekerasan yang dilakukan guru kepada siswa adalah doa dan perhatian.

Lihat saja, pendidikan dipesantren salaf, para santri lebih suka jika dicubit gurunya. Jika mereka tidak pernah dibentak atau dicubit gurunya, mereka merasa kurang diperhatikan. Di pesantren, mereka masih percaya dengan “barokah”. Mereka sangat percaya, bahwa marahnya guru adalah suatu doa. Mereka akan menjadi lebih baik, selalu diperhatikan. Perhatian tidak harus dengan cara mengelus, tapi kemarahan adalah bagian dari perhatian. Karena setiap orang, berbeda dalam memberikan perhatiannya.

Mengenai pendidikan moral, nampaknya sedikit demi sedikit akan punah. Seiring dengan sering bergantinya kuriulum. Pendidkan agama disekolah non agama, semakin memperkecil jam belajarnya. Padahal, yang menentukan masa depan siswa, bukan ketika dia menjadi juara dalam olimpiade, atau mendapat nilai cumloud di akhir masa belajar. Tapi seringnya dididik dengan pendidikan agama dan morallah, yang mnejdaikan manusia sukses di kemudian hari.

Salam….

Semoga tidak ada yang tersinggung dengan tulisan ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline