Lihat ke Halaman Asli

Perempuan dan Matinya Jaranan

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tadi sore di perjalanan menuju warung kopi, motor saya melaju lambat di sekitar jembatan Tunggulwulung karena terjadi kemacetan. Di tengah padat-merayapnya antrean kendaraan itu, saya melihat ke sebuah warung kecil di kanan jalan. Selain menjual kebutuhan keluarga, di depan warung itu juga ada Jaranan (kuda lumping) dan topeng "Bantengan". Sambil meneruskan perjalanan saya berpikir, “Opo yo laku dijual, mainan wujude Jaranan dan topeng Bantengan koyo ngunu kuwi. Ini Kota Malang, Kota terbesar ke 2 se Jatim, masih adakah anak-anak yang gemar main Jaranan”.

Kemudian saya berusaha mengumpulkan bukti-bukti hipotesis itu, saya kumpulkan ingatan mengenai anak-anak di Kota Malang yang saya kenal. Tak banyak anak-anak yang saya kenal tapi cukup sebagai bahan analisis kualitatif sederhana. Saya kemudian teringat pada Elang, putra bungsu Pak Sugeng, bapak kontrakan saya 2 tahun silam. Elang inilah yang banyak mendapat ilmu mahasiswa di usia Play Group, tentunya lengkap dengan ajaran cara misuh yang baik dan benar serta ajaran menggoda cewek seksi khas mahasiswa.

Tak penting membicarakan Elang dengan positif dan negatifnya pendidikan karakter sejak dini itu. Pokok bahasan kita adalah Jaranan. Dari sekian anak yang saya kenal di Malang, Elang adalah satu satunya yang terbukti menolak hipotesis saya. Ya, dia penggemar Jaranan, dia mahir menirukan lagu, gerak, hingga gaya kesurupan Jaranan.

Sudahlah, hipotesis saya ternyata salah. Kemudian saya kembali berpikir untuk mengembangkan analisis sederhana ini. Hipotesis berikutnya adalah “Anak-anak semacam Elang tidak akan menggemari Jaranan hingga masa dewasanya”.

Seusai ngopi saya langsung buka Laptop, saya buka data mengenai grup kesenian Kota Malang. Terdapat 61 grup kesenian Jaranan yang pimpinannya bernama semacam ini :Winarto , Wiji, Kadar Kipo, Suyono, Sodik, Jumari, Sitam (Data riil dari Disbudpar Kota Malang). Apa makna yang tersirat dari 61 grup Jaranan itu?. Mereka adalah orang asli Jawa yang lahir dan dewasa di jaman Orba. Mereka bukan anak-anak muda yang namanya : Fery Yudha, Ariel, Geovani atupun Nasrun Annahar dan nama-nama sejenis yang beken pada masa transisi rezim Orba ke Reformasi.

Analisa deskriptif tersebut saya kembangkan lagi menjadi analisa eksplanasi, saya hubungkan dengan sebab musabab kenapa anak-anak kecil seperti Elang tak lagi gemar “Njaran” di masa remaja dan dewasanya. Tentu kambing hitam yang paling pantas untuk dipersalahkan adalah Westernisasi, Globalisasi dan "Koreanisasi".

“Ahhh, itu analisa dangkal”, pikir saya sendiri.

Kembali saya berpikir sembari beli air galon. Akhirnya ketemu juga, alasannya adalah “Remaja Wanita masa Kini”, mereka pantas dituduh bersalah dalam kasus pembunuhan produk budaya yang bernama Jaranan. Kenapa? Mudah saja alasannya:


  1. Cowok keren menurut mereka adalah yang mahir main gitar/nyannyi dan menirukan gaya wibawa Ariel atau Michael Bublé, bukan yang bisa kesurupan dan makan beling,
  2. Cowok Cute menurut mereka adalah yang gokil, yang pinter Stand Up Comedy macam Raditya Dika bukan yang pandai ngelawak dan mbuat Parikan (Jula-Juli) semacam Cak Durasim (Seniman Ludruk kelahiran Jombang yang kemudian besar nama dan pengaruhnya di Surabaya, sempat juga jadi Tapol krn mengkritik Pemerintahan Penjajahan Jepang), Pak Santik (Kreator Besutan Jombang, Karyana berevolusi hingga melahirkan Srimulat).
  3. Cowok ganteng menurut mereka adalah yang kulitnya putih bersih, rambut agak pirang dengan model macam-macam lantas joged-joged sambil nyanyi lipsing, bukan yang multitalenta, yang bisa jadi penari, penyanyi, koreografer, komedian, pemain pantomim, dan pengajar semacam Didik Nini Thowok.


Matinya Jaranan sama dengan matinya Ludruk, Wayang, Ketoprak, Dangdut dan segudang seni tradisi lainnya. Tak satupun bisa dijadikan bahan menarik perhatian "Remaja Wanita Masa Kini". Buktinya, tak pernah ada pujian, “Nasrun, km kok keren banget siiii bisa maen dangdut koplo”. Hehehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline