Masyarakat Indonesia baru saja dihebohkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang membuat keponakan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yaitu Gibran Rakabuming Raka (36 tahun) yang sedang menjabat Walikota Surakarta memiliki kesempatan untuk maju pada pemilihan umum 2024 mendatang.
Gibran Rakabuming Raka sendiri ialah merupakan anak sulung Presiden ke 8 RI Joko Widodo yang menjabat priode 2019-2024, artinya ketika maju sebagai peserta pada pemilu tahun 2024 yang akan datang, ayahnya masih efektif sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan. Kita tidak perlu lagi mencari hal yang tersirat dari yang tersurat, karena tampak jelas peristiwa ini seperti penyerahan kekuasaan dari seorang ayah kepada anak yang dibantu oleh pamannya.[1]
Sekilas lalu peristiwa diatas nampak seperti yang terjadi di negara monarki, dimana raja menunjuk putera mahkota sebagai pewaris tahta, tidak demikian di negara yang menganut sistem republik dan paham demokrasi seperti Indonesia, tetaplah harus ada persetujuan rakyat untuk menjadikannya sebagai pemimpin negara. Patrimonial tersebut dilakukan upaya terselubung melalui jalur prosedural, dengan cara anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan yang kemudian mendukung atau memululuskan dinasti politik yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. [2]
Dengan terlihat jelasnya proses pembentukan dinasti politik dalam meluluskan Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta pemilu 2024, hal ini semakin tambah terang benderang setelah keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan bahwa ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat ketika memeriksa Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023, ternyata sebagian masyarakat Indonesia menganggap hal tersebut sebagai hal yang lumrah saja, bukan suatu hal yang tidak terpuji dalam berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dikonfirmasi dari hasil survei survei Indikator Politik Indonesia, Peneliti utama Indikator Hendro Prasetyo mengatakan
69,1% responden yang tahu terkait putusan itu mengatakan setuju. Sementara yang tidak setuju berada di angka 29,3%. [3]
Sementara itu Populi Center merilis hasil survei mengenai tanggapan publik atas keputusan Mahkamah Konstitusi tentang batas usia Capres dan Cawapres dimana 53,1% responden setuju akan keputusan tersebut. Sedangkan untuk melihat persepsi publik terkait isu dinasti politik yang sedang banyak disoroti, sebanyak 62,1% responden bisa menerima atau menyatakan biasa saja, dengan rincian 15,8% menyatakan bisa menerima dan 46,3% menyatakan biasa saja. [4]
Jika kita melihat data-data tersebut, dapat kita simpulkan bahwa masyarakat hari-hari ini menganggap dinasti politik adalah hal yang biasa-biasa saja, lumrah, normal, lazim dan wajar, padahal dinasti politik ini membuka peluang atau jalan untuk terjadinya kolusi dan nepotisme yang pada akhirnya tak akan lepas dengan perilaku korup dari pejabat itu sendiri.
Sangat kontras dengan 25 tahun yang lalu ketika peristiwa reformasi terjadi, salah satu hal yang paling getol dikumandangkan adalah anti KKN, yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Elite politik saat ini yang pada tahun 1998 tersebut seakan amnesia terhadap apa yang diperjuangkannya sebelumnya, atau mereka dahulu hanya kawula yang sedang mencari jalan untuk menjadi elite politik di republik ini.
Elite atau Priayi dalam bahasa jawa memiliki kedudukan yang sangat tinggi ditengah masyarakat, oleh sebab itu banyak sekali wong cilik yang ingin anaknya menjadi priyayi. Pada dasarnya priayi adalah seseorang yang selalu berpegang teguh kepada tatanan dan etika, berbudi luhur, berakhlak mulia dan berpendidikan yang bertugas memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat, pemerintah, dan negara. Ada yang perpendapat pada era kontemporer saat ini priayi sebagai orang yang telah berhasil masuk menjadi anggota birokrasi, ada pula yang mengartikan priayi dalam pengertian sekarang sebagai alat birokrasi pemerintahan.
Priayi dituntut dapat mengembangkan sikap pengabdian yang ikhlas kepada raja/pimpinan dan pekerjaannya. Tuntutan sikap pengabdian tersebut ditambah dengan adanya pola hierarki status dan jabatan yang ketat, sehingga melahirkan etos feodalistis pada diri priayi. Etos feodalistis ini mempunyai ciri seperti orientasi kepada atasan, melaksanakan dan patuh sepenuhnya pada perintah atasan, loyalitas yang tinggi dan penghormatan yang berlebihan serta pelayanan untuk memberi kepuasan dan kesenangan kepada atasan. [5]
Karakter feodalistis ini sudah berlangsung selama berabad-abad di wilayah nusantara, baik itu pada era kerajaan, kolonial, maupun pada era pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Priayisme bagi wong cilik ialah proses menjadi priayi, sedangkan untuk kelompok elite, priayisme dapat diartikan sebagai segala bentuk upaya mempertahankan kepriayiannya. Pada era pra kemerdekaan, proses wong cilik untuk menjadi priayi sangatlah sulit, tergantung pada siapa yang membawa dan dititipkan kepada siapa. Keberhasilan proses ini pun sangat ditentukan secara subjektif oleh raja, bagaimana yang bersangkutan dapat menyenangkan hati raja.