Lihat ke Halaman Asli

Nasrul Pradana

Praktisi Manajemen, Sarjana Psikologi, Magister Manajemen.

Mengkaji Etika Kehidupan Berbangsa

Diperbarui: 18 November 2023   02:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inp[1]

Pada Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa pada tanggal 11 November 2020, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia meletakkan basis etika dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, agar terwujud tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa, dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam upaya terwujudnya negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. [1]

Dalam konferensi tersebut dikatakan bahwa:

etika berbangsa juga merupakan fondasi bagi kelangsungan hidup suatu bangsa, sehingga manakala runtuhnya etika berbangsa, maka akan membawa akibat pada runtuhnya bangsa tersebut. [1]

Jika kita merujuk kepada Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa, apa yang terhadi pada hari Selasa, 7 November 2023 yang lalu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan bahwa ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat dan dijatuhi hukuman diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua Hakim Konstitusi ialah sebuah pukulan telak terhadap basis etika dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Pelanggaran etik berat ini dilakukan oleh ketua "lembaga pengawal konstitusi", betapa hal ini bagaikan bom atom yang meluluhlantahkan pranata hukum di republik ini. [2]

Hal tersebut berawal dari Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan  Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan:

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah'" [3] 

Dengan keputusan tersebut, keponakan Anwar Usman yaitu Gibran Rakabuming Raka (36 tahun) yang sedang menjabat Walikota Surakarta memiliki kesempatan untuk maju pada pemilihan umum 2024 mendatang. Anwar Usman dianggap melanggar etik karena tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan yang terkait langsung dengan keponakannya, alih alih menyesali perbuatannya, justru ia tidak merasa adanya benturan kepentingan yang nyata ikut dalam proses pemeriksaan dan pengambilan Putusan tersebut.[4] 

Gibran Rakabuming Raka yang merupakan keponakan dari Anwar Usman Sekaligus anak dari Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo diharapkan memiliki basis etika yang memadai menghadapi persoalan inipun pada akhirnya mengabaikan prinsip etika tersebut, ia tetap memaksakan diri untuk melanjutkan pencalonan sebagai Cawapres pada pemilu 2024 berdampingan dengan Prabowo Subianto yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan di kabinet Indonesia Maju pimpinan ayahanda Gibran.

Presiden Joko Widodo yang merupakan ayah kandung Gibran Rakabuming Raka, pemimpin Republik yang seharusnya menjalankan etika dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan ternyata memberikan doa restu kepada putranya, tidak perduli "tiket" yang didapatkan oleh putranya tersebut berdasar dari hasil putusan yang melanggar etik berat di Mahkamah Konstitusi. Jika demikian kenyataannya, apa yang dikhawatirkan pada Konferensi Nasional II Etika Kehidupan Berbangsa pada tanggal 11 November 2020, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yaitu manakala runtuhnya etika berbangsa, maka akan membawa akibat pada runtuhnya bangsa tersebut mungkin saja dapat terjadi. [5]

Refrensi:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline