Lihat ke Halaman Asli

Nasrul Pradana

Praktisi Manajemen, Sarjana Psikologi, Magister Manajemen.

Republik Rasa Monarki

Diperbarui: 23 November 2023   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik dinasti adalah sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam wangsa tertentu. Dinasti politik sebangun dengan sistem monarki, karena kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang masih dalam hubungan keluarga, tujuannya adalah regenerasi kekuasaan bagi kepentingan kalangan tertentu untuk bertujuan mendapatkan atau mempertahankan supremasi disuatu negara. Sedangkan pada sistem republik yang sistem politiknya kepala negara dipilih oleh rakyat atau wakil rakyat yang mereka pilih, patrimonial seperti ini  seperti ini dilakukan upaya terselubung melalui jalur prosedural, dengan cara anak atau keluarga para elite masuk institusi yang disiapkan.

Oleh karena dipilih oleh rakyat atau wakil rakyat yang mereka pilih, pada sistem republik, politik dinasti tidak semudah dijalankan pada sistem monarki yang dipimpin oleh seorang raja yang menunjuk putra mahkota untuk suksesi pemimpin berikutnya, tetapi harus ada persetujuan dari rakyat yang bersedia memilihnya untuk menjadikannya pemimpin negara. Maka politik dinasti seringkali dijalankan dengan cara mendahulukan dan membukakan peluang bagi kerabat atau teman-teman dekat untuk mendapatkan fasilitas dan kedudukan pada posisi yang berkaitan dengan birokrasi pemerintahan, tanpa mengindahkan peraturan yang berlaku, sehingga menutup peluang bagi orang lain, inilah yang sebut dengan nepotisme. 

Kata nepotisme itu sendiri berasal dari kata latin nepos, yang berarti "keponakan" atau "cucu". Sedangkan  secara yuridis, definisi nepotisme ditemukan di dalam Pasal 1 angka 5 UU 28/1999. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. [1]

Indonesia sebagai negara dengan sistem republik pun tak luput dari prakik seperti ini, pada tahun 1998 yang lalu sudah menggema istilah KKN, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilawan habis-habisan oleh seluruh lapisan masyarakat yang mengakibatkan tumbangnya pemerintahan presiden Ke 2 RI Soeharto setelah kurang lebih 32 tahun berkuasa. Peristiwa ini yang kemudian menjadi tonggak sejarah perlawan rakyat terhadap praktik-praktik tersebut. 

Setelah peritiwa bersejarah itu, tahun demi tahun, priode demi priode pemilu, ternyata praktik politik dinasti ini timbul kembali sedikit demi sedikit. Awalnya hanya tingkat kabupaten atau kota, dimana bupati atau walikota menyiapkan penerusnya sebagai pemimpin selanjutnya jika masa jabatan sang bupati atau walikota berakhir. Penerusnya ini bisa merupakan, istri, anak, adik, keponakan atau kerabat dekat lainnya. Semakin lama berselang dari peristiwa yang monumental pada tahun 1998 tersebut, masyarakat seperti terlena oleh bahayanya praktis semacam ini, awalnya mungkin hanya pada level kabupaten atau walikota, waktu demi waktu akhirnya pada level provinsi hinggalah pada puncaknya beberapa waktu yang lalu, putra Presiden RI yang sedang berkuasa yang juga merupakan walikota Surakarta yaitu Gibran Rakabuming Raka maju dalam pemilihan umum 2024 sebagai calon wakil presiden RI. 

Tentu saja hal ini akhirnya membuat syok sebagian besar masyarakat Indonesia, terlebih lagi dalam proses pencalonan tersebut terdapat "Drama" di Mahkamah Konstitusi RI, yaitu mengabulkan permohonan undang-undang pemilu yang mengatur tentang batas usia paling rendah 40 tahun sebagai syarat capres dan cawapres yang diajukan oleh seorang Mahasiswa sebuah universitas di Surakarta. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". [2] 

Keputusan tersebut dibacakan oleh Anwar Usman sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang juga merupakan paman Gibran Rakabuming Raka, pada hari Senin 16 Oktober 2023. Dengan keputusan tersebut, Gibran Rakabuming Raka yang pada saat ini berusia 36 tahun putra Presiden Joko Widodo dapat melenggang ke arena pemilihan umum sebagai cawapres mendapampingi Prabowo Subianto yang juga merupakan Menteri Pertahanan RI dipemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sepanjang sejarah pemilihan umum RI, baru kali ini ada seorang kandidat capres/cawapres yang merupakan anak kandung dari presiden yang sedang aktif menjalankan pemerintahan, maka hal inilah yang menjadi kekhawatiran masyarakan luas akankah perhelatan pesta demokrasi tersebut berjalan dengan jujur dan adil? bagaimana legitimasi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka jika memenangkan pemilihan umum ini mengingat sejumlah hal yang masih belum jelas kedudukannya, seperti keputusan Mahkamah Konsutitusi RI, dan seterusnya dan seterusnya.

Tentu saja hal ini harus menjadi perhatian Presiden Joko Widodo agar peristiwa 25 tahun yang lalu tidak terulang kembali yaitu peristiwa 1998 dimana masyarakat turun kejalan dengan slogan-slogan anti KKN.

Refrensi:

[1]  Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (“UU 28/1999”) 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline