Nasrudin Joha - Sudah menjadi rahasia umum, politik itu soal kekuasaan. Politisi tak peduli bagaimana cara kekuasaan diraih, mereka hanya peduli pada kekuasaanya bukan cara mendapatkanya.
Menghalalkan segala cara itu biasa, politik uang itu lumrah, menyalahgunakan kekuasaan itu wajib. Karenanya, dalam Pilkada nyaris jarang seorang petahana akan kalah dengan penantang. Kecuali, pada kondisi luar biasa.
Umumnya, petahana memanfaatkan jabatannya, agar terpilih kembali pada periode kedua. Paling mudah, publik bisa melihat dari postur anggaran menjelang pilihan. Di sana, akan banyak program populis -meskipun tak wajar- karena modus ini paling nyaman untuk mengunduh elektabilitas menggunakan sarana anggaran negara.
Semua itu masih dalam 'kategori wajar' dalam politik. Namun, jika curang itu bukan dengan merayu rakyat, bukan membuat rakyat terpesona dengan calon -meskipun menggunakan anggaran, alat dan fasilitas negara- tetapi mengulik data-data, menggelembungkan suara, menghapus suara real, mengubah suara yang dipublis, membuat 'surat keputusan pemenang' di atas data yang manipulatif, inilah curang yang sesungguhnya.
Data 17,5 juta DPT invalid, sampai saat ini menjadi isu utama tentang kekhawatiran Pilpres curang. Sebab, angka 17,5 juta adalah angka signifikan untuk mempengaruhi hasil akhir pemenangan. Angka ini, bisa mengubah neraca kekuatan suara politik jika digunakan sebagai 'bandul ilegal' untuk mengolah hasil suara akhir.
Curang itu bukan terletak saat kampanye, saat menuju TPS, saat menghitung suara, saat mengisi formalir C1. Tapi curang saat tabulasi suara, curang saat penulisan kertas keputusan pemenang Pilpres, curang menggunakan data invalid untuk menambah bobot calon yang kalah dan mengubahnya menjadi pemenang.
Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan dengan Pilpres curang ini?
Pertama, tentu pasangan capres dan cawapres yang melakukan curang. Dengan Pilpres curang, nasib kalah bisa disulap menjadi menang dengan permainan data-data, teknologi, otoritas penyelenggara, hingga otoritas Mahkamah yang mengadili sengketa Pilpres.
Kedua, para cukong, partai, koalisi partai, politisi dan birokrat yang mendukung calon curang. Mereka dapat merayakan pesta pora kemenangan, membagi jatah kue kekuasaan, konsesi bisnis dan berbagi kepentingan, serta meneguhkan komitmen untuk merusak negara. Sebab, hanya orang yang ingin merusak negara yang melakukan kecurangan.
Ketiga, lembaga survei yang sejak awal mengorbitkan capres tertentu sebagai pemenang. Lembaga ini, tidak peduli hasil akhir Pilpres apakah normal atau hasil curang. Mereka hanya berkepentingan hasil Pilpres sejalan dengan hasil survei yang mereka edarkan.
Mereka tidak peduli kemenangan itu curang, sepanjang berkesesuaian dengan hasil survei yang mereka edarkan. Sebaliknya, mereka tidak menginginkan hasil akhir Pilpres yang menghasilkan pemenang yang bertentangan dengan hasil survei mereka.