Hari-hari ini pelajar dari berbagai daerah di Indonesia menjadi viral di media sosial karena gagal menjawab pertanyaan sepele yang dilontarkan para YouTuber dan Tiktokers, seperti "Apa Nama Negara di Benua Eropa?" Siapakah Bapak Pendidikan Indonesia?"
Sekelompok siswa SMP tertawa-tawa dan tidak bisa menjawab dengan baik. Begitu pula ketika siswa ditanya soal matematika dasar tentang penjumlahan sambil mengenakan seragam, mereka bingung menjawabnya.
Beberapa orang segera membuka ponselnya dan mencari jawaban. Bahkan ditemukan siswa sekolah menengah belum bisa membaca dan menulis dengan lancar.
Sama menyedihkannya di tingkat universitas. Slogan "Kampus Merdeka" dan berbagai penghargaan kampus tidak serta merta berhubungan dengan kualitas individu mahasiswanya. Kualitas belajar siswa dalam berbagai aspek (afeksi, kognisi, psikomotorik) cenderung lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya.
Kebiasaan membaca nya sangat rendah dan malas, namun pada saat tertentu dia sangat suka bermain game online, judi online, pinjaman online, nongkrong, minum kopi, menyembuhkan, dan kalaupun dia kritis saya suka dengan antusias memposting update di media sosial tentang apa yang terjadi. Meski peduli, mereka sangat lemah lembut dan takut menghadapi kenyataan hidup.
Itulah fakta dunia pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini yang berbanding terbalik dengan jargon populer yang dicanangkan Kementerian Pendidikan di era mas Menteri Nadiem Makarim itu, yakni kata "Merdeka".
Diksi "Merdeka" itu ditempelkan di berbagai aspek strategis pendidikan yang seakan-akan menggambarkan kehebatan dan loncatan (leapfrogging), seperti merdeka belajar, kurikulum merdeka, kampus merdeka, dan lain sebagainya, namun yang memprihatinkan semua itu tidak membuat pendidikan menjadi bermakna, baik bagi peserta didik maupun pendidik itu sendiri. Mengapa semua itu terjadi?
Pertama, secara filosofis kata "merdeka" yang digaungkan Mendikbud berobsesi menerjemahkan semangat kemandirian yang digagas oleh Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara dalam proses pembelajaran.
Di satu sisi semangat kemerdekaan belajar patut diapresiasi karena akan menciptakan kemerdekaan belajar murid-murid yang mandiri, namun di sisi lain menjadi poblematik ketika cita luhur itu tidak didukung oleh modal mendasar dalam pendidikan, yakni kemandirian berpikir.
Kemerdekaan atau kebebasan akan bernilai positif dan produktif jika pemegang hak kemerdekaan itu memiliki integritas dan otonomi berpikir logis. Permasalahannya adalah tradisi berpikir kritis dan otonom sangat langka di negeri ini, bahkan sejak dari pendidik (guru dan dosen), pemangku kepentingan lembaga pendidikan hingga peserta didik.
Lihatlah praktik pembelajaran sejak pendidikan dini dan dasar, indoktrinasi ideologis sudah ditanamkan sejak dini sehingga membelenggu kebebasan berpikir peserta pembelajar. Walhasil yang berkembang bukan ilmu pengetahuan dengan prinsip berpikir logis namun imperasi ideologis lebih mempengaruhi cara berpikirnya.