Lihat ke Halaman Asli

Nyanyian Sunyi Rosa

Diperbarui: 18 Februari 2016   13:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin di Pantai Sendawa, memilin pagi, merengkuh dingin yang nyata. Ikan berkecipuk di bawah dermaga. Sorak suara alam di ufuk fajar menggema langit. Bias-bias warna berpendar melukis angkasa. Burung camar melantunkan zikir pagi, menggoda Tuhan dalam rumpun doa yang merayu. Semak menguning semakin mengkilat keemasan dimandikan cahaya. Puluhan pohon jati berbaris, berderet membentuk lorong tak berujung. Indah, deburan ombak membuai mimpi. Rosa terpekur menatap kaki langit. Kakinya hangat diselimuti pasir. Sepanjang pagi mengencani ayunan dan angin, dunia ramai semakin menjauh. Bak lorong waktu yang menghempas raga, Rosa terdampar dalam satu masa penuh mimpi: kenangan.

---

Rosa. Gadis manis berjilbab. Tidak cantik. Sama sekali tidak. Tuturnya pun tak bisa dikatakan lembut. Suaranya lantang dan tegas. Aura pemimpin kaum wanita memancar di sekitarnya. Ibarat Dewi di pendar cahaya surga, Rosa berlenggak pantas dan anggun di pelataran trotoar. Menunggu cinta datang menjemput. Hilir mudik kendaraan tak terhitung jumlahnya. Rosa memulai kebiasaan lama, menghitung lalu lalang kendaraan tak berkesudahan. Senyum menggantung di bibir. Merekah menyapa beburung yang makin malu menampakkan diri, atau enggan mengibarkan sayap? Entah.

Kerlip lampu jalan menyirami wajahnya yang tidak bisa dibilang ayu. Mata besar, hidung kecil, bibir tebal, dan lesung pipi sebelah kiri. Rosa tampak anggun dalam balutan pasmina orange. Menyaingi keremangan lampu jalan, Rosa terpaku menatap jalan. Burung sudah lama pulang ke sarang. Senyum Rosa mengabur tertelan harap yang nampaknya mengisyaratkan kebuntuan. Sudah lebih dari 357 kendaran terhitung oleh lisannya. Cinta tak juga kunjung datang. Kerlip lampu semakin merajai malam. Harap kian menggantung tak terjamah. Teringat janji yang diucapkan olehnya dengan cinta: “Kutunggu kau di pelataran, tepat di kilometer 4, tepat jam 5”.

Rosa menunggu dengan debaran yang makin kencang,  bibirnya mulai lesu menghitung kendaraan yang melintas. Matanya menggenang, cukup jelas mencerminkan pantulan dari dasar hati Rosa. Bunyi klakson memenuhi semesta. Senyum sapa lalu lalang menyisakan ketakutan yang mendalam. Rosa kalang kabbut. Dadanya dihantam dentuman kencang bertalu-talu.

“Kutunggu kau di pelataran, tepat di kilometer 4, tepat jam 5”.

Jam berapa sekarang? Mata Rosa nanar menatap sekitar. Dentuman di dada kini mengalir ke kepala. Sakit bukan kepalang. Rosa berlari menyusuri trotoar malam. Menembus deru klakson dan goda pemuda jalanan. Matanya menderaikan anak sungai. Sesenggukan mencari lorong sepi. Rosa menangis sejadi-jadinya. Cinta tak kunjung datang menjemput. Janji tinggal janji. Menguap bersama senja yang ditelan malam. Bukankan sudah kepastian bahwa malam menelan senja? Hingga senja yang abadi hanya harapan yang terpotret dalam pigura indah sebuah foto? Tangis Rosa menembus jari-jari malam, pilu kian menjadi. Rosa terduduk dalam onggokan sampah, tepat di ujung jalan. Buntu.

---

“Tahukah kau kalau dering bel akan berbunyi ketika Tuhan mempertemukanmu dengan sosok yang kau sebut jodohmu?”

Cinta menggeleng.  Matanya menyipit, terlindas senyum yang merekah. Manis sekali.

“Kau harus tahu, kalau bel itu benar-benar ada. Dan saat ini tengah berbunyi.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline