Lihat ke Halaman Asli

Titik Nol Kemerdekaan

Diperbarui: 17 Agustus 2018   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puncak Wawane Leihitu Maluku Tengah/dokpri

Kemerdekaan, apa Tuan? Judul puisi Sartika Wali yang diakses dari laman facebook Flp Maluku ini menjadi  sebuah pertanyaan tentang keadaan alam kemerdekaan yang tengah ditinggali oleh ribuan etnis di Indonesia. Sajaknya membuat kita menggali lagi dari, untuk siapa dan kemana corong "obor" itu dibawa. Apakah setiap tanggal kemerdekaan hanya sekedar membuat lari lomba karung, makan kerupuk, panjat pinang, dll. Jenis-jenis lomba tersebut seakan menjadi "dadu" pembodohan bagi masyarakat. Masyarakat dipaksa dalam sistem permainan ala old---yang kini belum juga diketahui asal-usul permainan-permainan tersebut. Kemerdekaan jenis premium yang telah dicabut subsidinya.

Seharusnya, usia 73 tahun menjadikan Indonesia lebih baik. Kita tidak dibuat sibuk dengan ketupat perayaan, histeris dengan hadiah-hadiah lomba, melainkan berfokus apa yang akan dilakukan pasca matahari terbenam di ujung tanggal 17 Agustus.

Sepeningal Sang Dwi Warna diturunkan, sudah seharusnya kita bawa terbang tinggi Indonesia. Indonesia telah dikenal namanya sejak dahulu. Indonesia pernah menyaksikan rentetan mesiu menerbangkan tubuh manusia bagai anai-anai yang beterbangan, peluru-peluru meriam yang mengkuliti kulit-kulit manusia tak berdosa. Indonesia yang kata Sartika," mengalami badai yang tak henti-henti dikala itu.

Peristiwa itu dulu, sudah cukup lama. Kebelengguan itu tak terikat lagi secara fisik.  Sudah merdeka katanya. Mengaca, Indonesia hari ini telah menjadi rumah bersama. Namun masih ada jua kerumitan-kerumitan yang sengaja diotak-atik oleh mereka yang "bersusuk".

Ketika dihadapkan dengan hal tersebut, bungkusan Indonesia yang berupa alam ijo royo-royo ini, tak perlu menunggu janji-janji generasinya, sebab tuan-tuan dulu telah berhasil membawa kemerdekaan ini sebagai perjuangan suci tanpa sepeser pun nama mereka harus terkubur tertulis pada nisan makam pahlawan. Maka, tugas the next generation ialah memegang erat tongkat estafet dan menguatkan pilar-pilarnya.

Kembali ke orde now,  Indonesia dalam teka-teki kembali. Banyak sisipan dan penyusup masuk dalam lingkaran kekuasaan. "Mereka" dibungkus dengan jas eksekutif, yudikatif, dan legislaitf serta militer maupun media. "Merekalah" membuat ketataan  politik menjadi sistem kanibal. Indonesia kembali dalam malam tambal sulam. Alamnya tampak gelap tak bersarang.

Itulah sebabnya, jika kita mengkaji buku Menuju Gerbang Kemerdekaan oleh Muhamad Hatta, Sang Proklamator, kita seakan-akan menyaksikan drama saat-saat ketika tentara Jepang dan mengusir kependudukan Belanda terjadi di depan mata. Hal ini menjadi titik awal perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Drama haru dan airmata, darah dan patahan-patahan nyawa yang mati sebagai patriotik.  Titik 0 menuju titik 100.

Titik awal ini merupakan ujung kohesi sejarah kolonialisme kapitalis 1600-an hingga 1940-an. Karena, proses menjadi Indonesia tidaklah semudah yang dibayangkan. Satu bangsa, satu tanah air, satu bahasa ialah proses akumulasi spirit perjuangan, ternyata dimensi itu membutuhkan energi panjang setelahnya. Sekumpulan titik kecerahan kebebasan jua datang di hari Jumat, 17 Agustus 2018. Tanggalnya sama dengan masa ini. Meskipun begitu, setelah Merah Putih berkibar, kita ditagih janji kemerdekaan. Apakah Indonesia bisa berkibar tinggi di dunia?

Sementara, keelokan Indonesia bagaikan wanita cantik, menjadi Surga yang dijanjikan hingga kiamat. Tapi, penghuninya tak percaya diri. Tak mampu berpikir mengelola sungai, hutan, laut,dsb. Padahal berpikir itu tanpa memakai paket data. Olehnya itu, momentum kemerdekaan sekarang sejatinya titik awal now menuju kebangkitan hari esok. Hal ini, harus kita ingat, kita hargai dan kita resapi, untuk selanjutnya kita jadikan  full spirit together  dalam menapaki jejak kebangsaan. Agar, jangan sampai kita kembali ke titik nol. Kata Sukarno," perjuanganku lebih mudah, karena melawan penjajah. Sedangkan perjuanganmu sangat berat, karena melawan bangsamu sendiri."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline