Di sebuah desa, di bawah kaki gunung Merapi, hiduplah seorang gadis yang amat jelita. Ayah ibunya seorang hafidz. Ayahnya lulusan Harvard University, USA. Ibunya lulusan Universitas Al Azhar, Mesir.
Sewaktu desanya kena gempa ekonomi berskala 9 SR, seketika itu desa yang dulunya ijo royo-royo alamnya, terkoyak-koyak oleh ban-ban serta mesin Excavator, Bulldozer, Dump Truck, Dragline, dsj.
Masing-masing warganya saling menikam, rumah-rumah saudaranya di bakar saudara seIbu. Kepala desa tak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya memilih untuk tak lagi melanjutkan kepemimpinan. Alhasil kepemimpinan tergantikan. Gadis itu masih bisa menyimak dengan kepalan tangan yang mengibas-ngibas.
Lalu, masyarakat mengira telah usai masalah, ah belum juga ternyata. Sepanjang, tahun-tahun jelang pesta rakyat terbuka pertama kali, masyarakatnya masih dihantui para rentenir, padahal mereka tak pernah merasa menghutang kepada siapapun. Bahkan, jika mau dibilang, segala harta kekayaan desa itulah yang dieskploitasi.
Nah, itu cerita diduka, yang telah jadi wallpaper pada dinding-dinding perbukitan desa tersebut. Kisah itu, sang gadis baru lahir. Sebagai bayi yang begitu belia, namun mata sang gadis terlihat penuh optimistis akan masa depannya.
Kea, nama gadis kecil itu. Setiap harinya, dia menatap jendelanya. Melihat asap mengepul berputar-putar pada kebun tete moyangnya.
Azimat kedua bapak ibunya sebelum mangkat ialah tanamkan budi pekertimu dengan cinta, kerja dan harmoni. "Tantangan kehidupan, Kea berbeda dengan ayah bunda. Maka, jagalah hal itu dengan sebaik-baiknya," pinta bundanya dengan keadaan batuk-batuk.
Kini, Kea hidup sendiri dan mencoba mandiri. "kamu adalah 'penyeru', sebelum menjadi apapun, jadi bersabarlah dengan sholat, " kata guru ngajinya sewaktu di bawah pohon Pinus senja.
Jika dilihat dari perjalanan Kea dan keluarganya, mereka tak butuh soal nama besar, melainkan peran apa yang bisa diperankan dalam keadaan desa yang serba instan dan saling gontok-gontokan, padahal kita diajarkan untuk gotong royong.
Kini, Kea telah berajak dewasa. Makin semakin usia bertambah, disitulah Kea diuji dengan berbagai soal. Belum lama ayah bundanya terbungkus tanah liang lahat. Kakak kandungnya pun pergi. Kini, Kea seakan sendiri. Sementara disekelilingnya penuh dengan mafia-mafia. Anak-anak desa diracuni dengan pikiran-pikiran devide et impera. Kea kadang hanya bisa menangis dan berdoa akan kemahakasihan Allah, agar dia diberi kekuatan bisa mengatasinya.
Dan benar, beberapa kali kegiatan event lima tahunan, Kea berhasil menjadi promotor dalam memenangkan pertarungan tersebut.