Lihat ke Halaman Asli

Kesetaraan dalam Berpikir, Mengelola Ketidaksepahaman Bangsa

Diperbarui: 1 Agustus 2018   04:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (KOMPAS/DIDIE SW)

Tepat pukul 09.00 WIB, di atas tanah Bumi Sriwijaya, saya mencoba merenungi kejayaan nusantara di abad silam. Di sana ada sebuah kekuatan maha dahsyat yang terbentuk. Apakah itu? Kekuatan untuk mempertahankan diri sebagai sebuah "negara" yang berdaulat. 

Tentunya kejayaaan masa-masa lalu yang pernah ada di tanah Sumatera ini telah menjadi catatan sejarah yang tak akan bisa dilupakan oleh anak-cucu. 

Sebagai pelanjut estafeta bangsa sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa mengambil hal-hal terbaik yang pernah dilakukan oleh mereka yang dulu. Agar tangga-tangga sejarah tidak terputus begitu saja.

Sambil berharap, datang jauh-jauh dari Maluku untuk menyaksikan kemegahan Jembatan Ampera di atas Sungai Musi. Saya terus membayangkan di atas sungai saja ada sebuah jembatan untuk sebagai alat penyeberangan ke tempat sebelahnya. Apalagi Indonesia yang sangat luas wilayah teritorialnya ini.

Sejenak aku mengamati konstruksi jembatan yang membelah kota Palembang ini hampir sama dengan Jembatan Merah Putih di kotaku:Ambon. Hal yang membedakan adalah tempat berdirinya saja. 

Jika Ampera membelah sungai di antara kota Palembang; Merah Putih membelah teluk di kota Ambon. Kesamaan inilah sesungguhnya yang menjadikan alur pikirku mencoba menebak, ada apa dibalik semua ini? 

Sembari melepas lelah, arah pandanganku menjadi kompas, sejenak meminta petunjuk kepada sang kuasa. Semua tubuh mengucapkan doa. Doa kesyukuran semoga besok negeriku, Indonesia yang bisa menjadi kebun-kebun indah bagi dunia. Sehingga pulang dari sini, langkah kakiku bisa menjadi saksi sejarah dalam pergulatan Indonesia masa depan.

Kita dilahirkan dari rahim ibu pertiwi adalah takdir. Bukan pilihan. Hal tersebut juga merupakan sebuah anugerah terbesar. Sebab, Indonesia adalah Negara makmur, tanahnya subur dan hijau alamnya.

Sejak kecil, Indonesia telah mengajari anak-anak bangsanya untuk hidup saling gotong royong, bukan gontok-gontokkan. Menjaga etika bukan saling mengundi kejelekan orang lain. Mencintai sesama bukan memata-matai dengan kebencian.

Kabar gembira dari berbagai sumber tentang kejayaan Indonesia masa akan datang. Maka, sudah saatnya segala potensi anak-anak bangsa harus diarahkan untuk menjadikan "kabar gembira" itu sebagai suatu kenyataan hari esok. Bukankah, Hasan Al Banna juga telah mengatakan bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin. Dan kenyataan hari esok, adalah mimpi hari ini".

Sumber: nalarpolitik.com

Lalu, tetiba hatiku terguncang. Ternyata anugerah Negeri zamrud khatulistiwa ini juga bisa membawa petaka. Dimulai dari ketidakserasiaan hidup. Pelajaran Kewarganegaraan, yang menjadi dasar harmoni kehidupan di masa kecilku, pudar.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline