Anak adalah amanah Allah SWT, Tuhan Sang Kuasa. Amanah tersebut sangat penting bagi para tua untuk menjaga, memupuki, merawat agar si anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan masanya. Tentu, hasil dari penjagaan itu, si anak memiliki karakter positif dalam kehidupannya kelak. Agar mereka tidak menjatuhkan martabat keluarga, lingkungan maupun bangsa. Pesan Ali bin Abi Thalib patut menjadi renungan bagi kita, "didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu."
Anak adalah aset bangsa yang sangat berharga. Mereka adalah siklus penerus generasi mendatang. Anak tidak dapat dipisahkan dari keberlangsungan fase sebuah bangsa. Itulah kenapa, anak dilindungi dalam perundang-undangan Indonesia,"Negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan diksriminasi." (UUD 1945 Pasal 28 B Ayat 2)
Indonesia sebagai bagian anggota PBB juga telah berkomitmen dengan diratifikasinya Konvensi Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Gerakan komitmen itu diwujudkan nyatakan dalam "world fit for children; dunia layak bagi anak" hingga ke seluruh daerah. Hal ini menjadi semacam tanda kepedulian Negara bagi masa depan generasinya.
Namun, wajah kepedulian itu belum terimplementasikan secara baik hingga peringatan Hari Anak Nasional, 23 Juli 2018. Evaluasi terhadap kekerasan, eksplolitasi anak menjadi catatan buruk.
Merujuk bankdata.kpai.go.id, berdasarkan klaster Perlindungan Anak, 2011-2016, kasus anak berhadapan dengan hukum sebanyak 7698 (34,8 %) disusul keluarga dan pengasuhan alternatif (4.294/ 19,4%) kemudian pendidikan (11%) serta pornografi dan cyber crime (7,7%). Belum lagi data kasus trafficking dan eksploitasi anak berdasarkan tahun 2015 menempatkan kasus prostitusi anak online sebagai korban mencapai 33,2% (96) yang paling besar.
Berdasarkan laporan "Global Report 2017: Ending Violence in Childhood" sebanyak 73,7 persen anak-anak Indonesia berumur 1-14 tahun mengalami pendisiplinan dengan kekerasan (violent discipline) atau agresi psikologis dan hukuman fisik di rumah. Lalu, KPAI sebut ada 26.954 kasus kekerasan terhadap anak dalam 7 tahun terakhir.
Sementara di Indonesia ada 73,7 % anak mengalami kekerasan di rumahnya sendiri. Jika rumah saja sudah tidak dirasa nyaman oleh anak, bagaimana lagi di luar rumah. Padahal, rumah merupakan lembaga pendidikan utama bagi si anak. Apalagi ladang "keterbukaan" di media sosial bisa membawa petaka jika rumah tidak bisa atap bagi pembinaan anak.
Seperti sebelumnya, kasus konten pornografi dalam aplikasi whatshap, Kendi Child Kid di twitter yang menjual foto dan vidio anak dengan pelaku dewasa dari 49 negara. Juga, dilansir dari Viva.co.id, data dari suvey Kementerian Sosial menunjukkan sebanyak 84 persen anak usia 12-17 tahun pernah menjadi korban bullying. Misalnya, kasus bullying siswa SMPN 273 Jakarta yang viral di medsos dan membuat masyarakat Indonesia geram. Kasus ini terjadi pada bulan Juli 2017 di daerah Thamrin City, Jakarta Pusat.
Rapot merah antara harapan dengan fakta sangat bertolak belakang tersebut menjadi bahan evaluasi bagi kita. Bahwa kontak sosial anak dengan orang-orang dekat (keluarga) maupun secara eksternal (lingkungan) serta media sosial harus diwaspadai sedini mungkin. Sebab, kita masih bangga masih ada anak-anak Indonesia yang berprestasi di tingkat Internasional.
Mereka telah mengharumkan nama ibu pertiwi. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk memerankan diri secara aktif sebagai aktor guna menggemilangkan masa depan anak. Sebab kita membutuhkan Lalu Muhammad Zohri (19), Gayatri Wailisa (16), dan Hasna Shofwatul Azizah (13) selanjutnya.
Mengenal Totto-chan...
"Totto-chan Gadis Cilik di Jendela" adalah judul bukunya. Buku dengan ketebalan 272 halaman ini diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003. Buku karangan Tetsuko Kuroyanagi menceritakan perjalanan hidup seorang gadis cilik. Gadis cilik ini bernama Totto-chan. Tapi, tahukah anda bahwa sebenarnya buku ini telah lama sekali beredar sejak tahun 1981.
Novel ini menceritakan seorang gadis cilik yang sangat periang, penuh semangat dan polos. Sayangnya, sifatnya ini sangat lain dari anak kecil seumurnya. Entah kenapa sifatnya itu tidak disukai oleh guru dan sekolahnya. Sehingga, dia dikeluarkan dari sekolahnya. Setelah berdiskusi dengan anaknya, akhirnya dia dipindahkan ke sekolah lain.
Sekolah itu bernama "To-mo-e Ga-ku-en". "To-mo-e Ga-ku-en" merupakan sekolah unik, karena menjadikan berkas gerbong kereta menjadi kelas. Awal pertama masuk, Totto-chan diwawancarai oleh kepala sekolah. Saat wawancara, dia diperbolehkan untuk menceritakan semua tentang dirinya. Dia pun sangat antusias menceritakannya sampai dengan dia kehabisan bahan untuk cerita yang kurang lebih memakan waktu empat jam. Dia pun diterima di sekolah itu.
Selain menjadikan gerbong kereta sebagai kelas. Sistem belajar di Tomoe yaitu memberikan kebebasan bagi muridnya untuk memilih pelajaran apa yang akan mereka pelajari dahulu sesuai dengan minat murid. Selain itu, para murid diajak untuk belajar di alam (jalan-jalan) dengan begitu murid jadi bisa belajar sambil bersenang senang.
Bagian akhir dari buku ini menggambarkan perjalanan kepala sekolah yang tidak pantang menyerah dalam bidang yang dicintainya yakni pendidikan dan musik hingga akhir hayatnya. Dedikasinya menjadikan beliau sebagai tokoh pendidikan yang dihormati. Selain itu, apa yang terjadi pada murid-murid Tomoe --- teman sekelas Totto-chan -- setelah dewasa, menjadi bukti nyata keberhasilan sistem pendidikan yang diterapkan di Tomoe. Semua menjadi apa yang mereka impikan semasa bersekolah di Tomoe Gakuen tercinta.
Relevansi Kisah Totto-chan dengan Era Now
Efek globalisasi telah menggunting sisi lain masa depan anak. Media sosial telah menjamahnya secara radikal. Maka terjadilah kecanduan yang sangat akut. Smartphone, gadget, android, tik-tok telah menjadi Tuhan kecil. Sadar atau tidak, anak telah kehilangan masa sosialnya untuk berinteraksi dengan sesamanya.
Jika dulu, kita masih melihat kumpulan anak-anak yang bermain kelerang, petak umpet, benteng dsj, namun sekarang permainan tradisional tersebut hilang dan digantikan dengan game-game elekronik. Akhirnya berbagai karakter sosial anak hilang seperti kesetiakawanan, tenggang rasa, saling menolong dsb.
Lalu apa yang bisa kita petik dari cerita Totto-chan? Menurut penulis, pertama, kita harus bisa mengembalikan rasa ingin tahu dan berjiwa sosial dalam diri anak. Rasa ingin tahu itu dapat menjadi motivasi untuk belajar kelak saat ia sudah dewasa. Rasa ingin tau akan melahirkan kesungguhan menggapai cita-cita. Sebagaimana, kesungguhan Totto-chan untuk menjadi guru. Sementara, hidupnya jiwa sosial dalam diri akan melahirkan karakter tenggang rasa, menghargai orang lain dan mengalah. Kedua bentuk kepribadian itulah menjadi dasar Chan tidak Madesu (masa depan suram)
Sebagaimana umumnya anak yang telah menginjak remaja, ketertarikan atau rasa ingin tahu anak masihlah ada. Rasa ingin tahu itu belum sepenuhnya lenyap. Hanya saja, saat ia beranjak remaja, rasa ingin tahunya sangat terbatas. Ia hanya penasaran terhadap hal-hal yang menyangkut seksualitas dan lawan jenis. Sementara itu, ketertarikannya terhadap hal lain seolah melenyap.
Pertanyaanya, mengapa bisa demikian? Apa yang menyebabkan rasa ingin tahu anak melenyap? Padahal sewaktu kecil, anak sangat antusias untuk mencoba berbagai hal. Ia ingin mencoba memotong kertas dengan gunting; ia ingin mencoba bermain korek api; ia ingin mencoba meloncat dari kursi dan sebagainya.
Untuk aspek sosial, kepedulian sosial merupakan hal penting untuk ditumbuhkan sejak dini, karena sangat berpengaruh bagi masa depan anak kelak. Sejarah telah membuktikan, anak yang mempunyai kepedulian sosial dapat menjadi seorang pemimpin yang sukses di masa depannya.
Mempunyai anak selain anugerah juga merupakan ujian bagi orang tua. Sesungguhnya anak-anak memang terlahir dengan potensi-potensi yang baik. Tugas kita orang tua untuk mengenalkan, mengarahkan dan mengupayakan agar potensi tersebut dapat tumbuh dengan baik. Saat ini kita hidup di era digital, era di mana interaksi langsung antar individu semakin berkurang. Hal ini tentunya sangat berperan besar dalam mengantisipasi jiwa individualisme pada anak.
Olehnya itu, tanamkan kesadaran tentang status, tanggungjawab serta kewajiban manusia di dalam kehidupan bersama. Berikan pemahaman bahwa dirinya adalah bagian dari komunitas besar dunia yang saling bergantung pada yang lain. Biasakanlah anak untuk ikut berkegiatan dalam kegiatan sosial di lingkungan terdekat. Setelah itu minta anak untuk memberikan evaluasi.
Penelitian terkini telah membuktikan bahwa ketika seseorang melakukan perbuatan sosial, misalnya berbagi makanan dengan sesama, tubuh dengan otomatis akan mengeluarkan enzim-enzim yang bermanfaat bagi tubuh, yaitu enzim Endorphine; enzim yang memberikan ketenangan, enzim Dopamine ; enzim semangat dan enzim Adrenaline.
Satu hal lagi adalah berikan motivasi terbaik pada anak dengan menceritakan kisah orang-orang sukses yang mempunyai kepedulian sosial tinggi, agar anak termotivasi untuk berbuat hal serupa. Sebab, "anak adalah peniru yang hebat".
Selanjutnya, untuk menumbuhkan kepercayaan dirinya. Berilah penghargaan kepada anak setelah dia melakukan suatu pekerjaan. Jiwa anak adalah jiwa yang senang diberikan penghargaan, baik dalam bentuk ucapan seperti, "Terima kasih kaka, sudah bantuin mama nyiapin makanan untuk tetangga" maupun penghargaan dalam bentuk hadiah sederhana. Dengan memberikan penghargaan kepada anak, sesungguhnya kita sedang memberikan contoh teladan yang baik dalam sikap menghargai orang lain, hal ini kelak dapat menjadi salah satu bekal hidupnya dalam bermasyarakat.
Jiwa kepedulian sosial akan mendatangkan kebahagian bagi anak dan itu bisa menjadi modal bagi mereka dalam menjalani kehidupan di masa remaja dan dewasanya. Jangan seperti perlakuan yang tidak etis, Iis Dahlia dalam ajang pencarian bakat KDI 2018 yang diviralkan lewat medsos. Dalam ajang tersebut, Iis melontarkan komentar pedas kepada peserta asal Bau-Bau bernama Waode Sofia. Padahal, pesertanya masih kategori remaja. Itu kan bisa mematikan bakat anak.
Kedua, sebagai orang tua, umumnya, tempat anak bersosialisasi pertama kali adalah di rumah, dengan keluarganya, yakni ayah dan ibu atau yang biasa dipanggil "Mama" dan "Papa" oleh Totto-chan.
Mama dan papa adalah orang tua yang berjiwa besar. Mereka mendidik anak mereka dengan kebebasan dalam arti mengizinkan sang anak mengeksplor berbagai hal untuk memenuhi rasa ingin tahuannya selama itu tidak membahayakan dirinya atau orang lain di sekitarnya. Artinya, hal-hal yang sudah sewajarnya seorang anak lakukan, seperti ketika Totto-chan sering "membuat" celana dalamnya robek dengan bermain menerobos semak-semak atau saat telinganya "tidak sengaja digigit" oleh Rocky.
Kemudian, mama mendengarkan cerita Totto-chan dengan perhatian juga bijaksana dalam menanggapi apa yang dialami putri istimewanya tersebut. Tidak seperti orang tua pada umumnya yang mudah panik atau mencela perilaku anaknya yang tidak sesuai dengan standar dirinya yang adalah orang dewasa (betapa orang dewasa sering bersikap tidak adil terhadap anak-anak)
Hal ini senada dengan penjelasan Imam Ali Zainal Abidin dalam kitab Risatul Huquq."Adapun hak anakmu adalah, ketahuilah bahwa ia berasal darimu. Dan segala kebaikan dan keburukannya di dunia, dinisbatkan kepadamu. Engkau bertanggung jawab untuk mendidiknya, membimbingnya menuju Allah dan membantunya untuk menaati perintah-Nya."
"Maka, perlakukanlah anakmu sebagaimana perlakuan seseorang yang mengetahui bahwa andaikan ia berbuat baik pada anaknya, niscaya ia akan mendapatkan pahala dan andaikan ia berbuat buruk niscaya ia akan memperoleh hukuan." (Al Khislal, hal.568)
Selain itu perlu diperhatikan juga beberapa hal seperti ini" berilah didikan yang seimbang antara nutrisi jiwa dan fisiknya. Jika anak berbuat salah, jangan menegur anak secara negatif, buatlah jadwal kegiatan anak yang positif, awasi secara berkala saat menonton acara TV ataupun video yang ditonton anak lewat smartphone, mengajarkan kebiasaan yang baik di rumah, berilah sentuhan kasih sayang kepada semua anak, jangan bergantung kepada pembantu rumah untuk mendidik anak-anak, jangan bertengkar di depan anak-anak, dan jangan membiarkan orang yang tidak baik secara sikap dan perbuatannya masuk ke dalam rumah.
Ketiga, sebagai guru dan lembaga sekolah. Sekolah imajinatif yang terdapat dalam isi buku ini, menjadi contoh bagi guru dan sekolah. Sekolah merupakan rumah kedua bagi anak. Di sanalah tempat anak mencari keluarga barunya. Maka, kenyamanan secara emosional harus terbangun dengan baik. Memang perlu waktu untuk menciptakan hal tersebut, manakala sistem pendidikan kita masih tertumpu pada pembelajaran berbasis kognitif. Walau sudah ada sekolah-sekolah kejuruaan, atau lembaga-lembaga pendidikan non-formal, tetapi kekuatan untuk mendrive pesan pendidikan berkemajuan masih perlu proses.
Perlu diketahui secara garis besar, anak bukan kertas kosong yang bisa distabilo-isme begitu saja. Kadang ada kita tidak bisa membedakan sosok yang kita didik dan ajar. Cakupan belajar anak kita adalah zaman kreatif yang mengandalkan kekuatan bakat, bukan zaman kita (zaman industri) yaitu zaman ijazah, atau bahkan mereka bukan lagi hidup pada zaman agrarian (kekuatan fisik) generasi para kakek nenek kita.
Ada dalam novel Jepang ini, tokoh yang begitu penting dalam kehidupan Totto-chan yakni kepala sekolah, Pak Susaku Kobayashi. Pertemuan pertamanya dengan Totto-chan begitu membekas di hati gadis cilik itu, ketika sang kepala sekolah tulus memberikan perhatian terhadap ceritanya selama empat jam tanpa terlihat bosan di mata Totto-chan.
Itulah awal fase pendidikan Totto-chan di sekolah Tomoe Gakuen. Kepala sekolah selalu menanamkan nilai positif dan meyakinkan Totto-chan bahwa ia benar-benar(dengan penekanan) anak yang baik, dalam arti meyakini dan meyakinkan Totto-chan bahwa betapa pun ajaibnya perilaku gadis cilik itu, dan sebagian orang mungkin menilainya nakal, ia adalah anak yang baik dan pantas untuk mendapat pendidikan terbaik.
Kepala sekolah telah merangkap menjadi guru inspiratif. Kepala sekolah adalah sosok yang hangat, berwibawa sekaligus cerdas. Beliau berani menembus sistem dan tradisi umum di masyarakat dengan menggunakan metode mendidik yang tidak lazim namun memberikan kesan dan pelajaran mendalam bagi anak muridnya. Beliau juga membuka ruang komunikasi dan banyak mendengar dengan siswanya, seperti yang dilakukan saat Tott-chan masuk sekolah. Dan yang paling mengesankan adalah kepala sekolah yang tidak pantang menyerah dalam bidang yang dicintainya yakni pendidikan dan musik hingga akhir hayatnya.
Banyak kisah unik dan menarik dari cerita Totto-chan ini. Bisa disimpulkan bahwa untuk mengajari seseorang yang memiliki sifat yang sangat unik seperti Totto-chan ini adalah yaitu dengan menyesuaikannya atau adaptasi dengan sifatnya. Maksudnya adalah kita harus bisa mengukuti apa minatnya. Karena yang dihadapi adalah seorang anak kecil berbeda sekali dengan seorang remaja atau seusianya. Anak kecil biasanya akan mau belajar apabila diselingi dengan metode belajar yang menyenangkan seperti yang ada di sekolah Tomoe Gakuen.
Membaca Totto-chan membuat saya belajar banyak tentang filosofi pendidikan, metodologi belajar, tumbuh kembang anak yang semua itu menghasilkan harmoni yang indah bagi pembangunan kemanusiaan. Semoga ini menjadi sel-sel saraf positif kita dalam mengembangkan potensi anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H