Akhir ini, semua mata tertuju pada peristiwa di Mako Brimob dan Bom di Surabaya. Kedukaan dalam kedua kejadian itu merupakan gambaran besar bahwa negara masih belum bisa memberikan kenyamanan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini sungguh mencemaskan internal bangsa, jika kekuatan negara yang mempunyai koneksi dan relasi yang kuat, dipatahkan oleh segelintir orang atau kelompok yang ingin merusak identitas bangsa.
Tentu sebagai negara yang berdaulat, kita tidak mengingankan kehidupan sosial yang telah tertata selama ratusan tahun diusik oleh gelombang perusuh yang mengingankan perpecahan. Lintasan sejarah yang telah menyatukan bangsa menjadi negara harus dijaga dengan baik. Jangan sampai warisan founding father menjadi sebuah alat komoditi dan diperjual dalam pasar saham. Pada akhirnya negara terjual atas nama kepentingan.
Peristiwa "bom" bukan baru kali ini terjadi. Sejak terjadi bom Bali tahun 2002, bom menjadi sumber malapetaka dan tranding topik. Langkah-langkah konkrit telah dibuat oleh aparat untuk membenamkannya. Namun, kenapa masih ada "bom"? Lalu, ketika itu ada yang bertanya, mana peran negara dalam mengatasinya?
Dalam fund for peace sering digunakan idiom "negara gagal". Salah satu ciri negara gagal ialah negara tidak mampu melindungi kebebasan masyarakat dalam melakukan aktivitas publik. Tindak kejahatan meluas, korupsi yang marak, memburuknya ekonomi, dll. Jika kita korelasikan ciri-ciri tersebut, Negara kita pun termasuk kategori zona itu. Maka, bom di Surabaya, terjadi bukan tak ada sebab. Begitukah?
Bom Surabaya, sebelum kita membicarakan akar masalahnya. Semua manusia di dunia ini sepakat bahwa proses menghilangkan nyawa manusia dalam bentuk apapun, baik tikam menikam, bunuh membunuh, lalu bom membom adalah tindakan keji dan hal itu hanya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak mempunyai hati nurani dan tidak beradab, hanya manusia tanpa agama sajalah yang bisa melakukan itu.
Kita bisa menyebut karakter mereka sama dengan Mao Zedong yang melumurkan darah 45 juta warga Cina, Adolf Hitler yang mengenosida 11 juta keturunan Yahudi, Stalin di Rusia yang membunuh 20 juta nyawa lawannya selama berkuasa. Mereka tentu bukan manusia.
Dilain sisi, bom Surabaya telah menghilangkan rasa waras kita sebagai anak bangsa. Kenapa demikian? Muncullah dua kubu yang saling berhadapan. "Orang baik" memunculkan hastag #kitaLawan, "sang teroris" juga punya definisi "kita lawan". Masing-masing berdiri dengan definisinya. Media sosial ramai, hura-hara tambah parah. Apakah, dengan hastag menghastag semua akan selesai? Tidak. Sebab, di negara ini, otak kita masih belum bisa membedakan mana aksi krimininal murni, mana aksi sisipan kepentingan.
Sekali lagi, negara harus bisa memberikan definisi dari setiap aksi apapun secara bijak dan penuh keadilan. Jangan sampai membiarkan pihak ketiga mendefinisikan sesuai kamus mereka. Negara harus menjamin itu.
Berkaitan dengan itu, saya sangat sepakat dengan pikiran-pikiran salah satu sastrawan Maluku, Opa Rudi Fofid. Beta kenal beliau sudah lama lewat kata-kata provokator damainya. Baru saja beliau menulis hal yang sama. Analisa beliau begitu mendalam dan sangat prinsip. Bisa anda membaca tulisan beliau dilink ini juga.
Dari catatan beliau di atas saya garis bawahi kata-kata "dialog", "regulasi", dan "nilai-nilai ilahian". Tiga kata ini jika dilihat dalam konteks hubungan sosial, memiliki arti yang sangat ajaib.
Tiga kata itu seharusnya negara bisa menjadikannya sebagai mukjizat dalam menyatukan keberagaman yang ada. Indonesia yang maha besar luasnya, jutaan ribu penduduknya, tidak bisa disatukan dengan "tangan besi" atau memakai pendekatan kekuasaan semata. Ada ruang-ruang dimana, manusia dipertemukan dengan dialog. Seperti yang misalkan pada tulisan sang opa.