Matahari baru sepenggalah. Angin Subuh telah berhenti sekitar dua jam lalu. Titik respon alam berkoma. Jedanya untuk manusia melakukan tafakur.Kurang lebih dua jam setelah sang fajar meninggi, wall dinding facebookku berbunyi. "Idul milad, wish you all the best, semoga FLP terus menjadi jantung literasi Indonesia."
Dengan itu, saya baru ingat, ternyata tanggal 22 Februari adalah tanggal dibentuknya Forum Lingkar Pena secara Nasional, 21 tahun silam. Tepatnya 22 Februari 1997.
Lahir di akhir-akhir periode orde baru, karena setahun kemudian wajah alam Indonesia bertransformasi, menjadi arah baru, Orde Reformasi. Tentu FLP punya napak tilas yang begitu lika-liku sampai kini.
Namun, dengan semangat pendirinya dan para anggotanya, FLP bisa tumbuh dan berkembang sebagai pabrik penulis yang menghasilkan berbagai karya monumental di jagad literasi Indonesia bahkan mancanegara.
Dua dekade lebih, FLP setelah awalnya Mba Helvi Tiana Rosa didaulat sebagai ketuanya, kini dinahkodai oleh Mba Yeni Mulati, S.Si., M.M. (Afifah Afra) hingga tahun 2021 terus berbenah dan menjadi lokomotif literasi Indonesia, FLP terus melakukan ekspansinya sesuai visinya yaitu memberikan pencerahan melalui tulisan kepada dunia.
Maka, tak heran seorang Maman S. Mahayana, memberikan komentarnya terhadap kontribusi FLP, "Dalam sejarah sastra Indonesia, belum ada satu pun organisasi atau komunitas (sastra) yang kiprah dan kontribusinya begitu menakjubkan, sebagaimana yang pernah dilakukan FLP. FLP telah membuat catatan sejarah sastra Indonesia dengan tinta emas!"
Sudah cukup jauh usia FLP. Pujian dan kritik tentu hadir sebagai bagian muhasabah diri. FLP dikritik sebagai pabrik penulis produktif namun minim kualitas. Hal tersebut, bisa jadi berawal dari latar belakang mayoritas anggota FLP yang merupakan penulis pemula, berusia muda---bahkan juga anak-anak. Mereka berusaha mengekspresikan ide-ide yang mengendap di kepala, lalu memvisualisasikan ke dalam kata-kata. Proses belajar ini, sebagian diawali dari bekal yang sangat minim. Itulah yang menyebabkan karya-karya anggota FLP mungkin masih perlu banyak perbaikan. Meskipun begitu, harus diakui, sebagian karya anggota FLP juga ada yang mendapatkan penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional seperti Kang Abik, Mba Helvi, Mba Asma Nadia, dll.
Diluar itu, sejak satu dasawarsa berdirinya FLP. FLP telah menjadi wadah ribuan orang untuk mengasah diri sebagai pengarang/ penulis, menerbitkan lebih dari 600 buku, bekerjasama dengan tak kurang dari 30 penerbit, dan membuka cabang di dari 125 kota di Indonesia dan manca negara, seperti Singapura, Hong Kong, Jepang, Belanda, Amerika, Mesir, Inggris, dll. Para aktivisnya kemudian mendirikan Rumah- Rumah Cahaya (Rumah baCA dan HAsilkan karYA) di setiap sekretariat cabang FLP.Itu data 10 tahun lalu, bandingkan dengan hari ini.
Tak hanya menyentuh kalangan intelektual, FLP menjadi wadah gerakan para ibu rumah tangga, buruh, anak jalanan, hingga pembantu rumah tangga. Ada pula FLP Kids yang ditujukan bagi anak-anak dan menjadi motor bagi bangkitnya kanak-kanak pengarang di negeri ini.
FLP membuat menulis dan bersastra tak lagi menjadi kegiatan eksklusif milik kaum cendekia. FLP menjadi satu-satunya organisasi pengarang yang berhasil membentuk rantai tak putus antara pengarang-penerbit-pembaca-pengarang.
Intinya dengan kekhasan, kekurangan dan kelebihan berlakulah ungkapan lama,"tak ada gading yang tak retak. Kalau tak retak bukanlah gading." Olehnya itu, selalulah menyuburkan optimisme guna menyebarkan kebaikan lewat literasi adalah sebuah komitmen yang perlu dipertahankan. Karena pekerjaan menulis sangatlah mudah, tapi sulit dilakukan.
#21 tahun FLP Berarti Par Bangsa
#FLPMaluku
Dirangkum dari berbagai sumber oleh Ketua FLP Maluku, M. Nasir Pariusamahu