Untukmu untaian kata mulia ini kami tuliskan. Meski dunia berbohong dan mati mata melihat rumahmu di bakar, anak-anakmu ditenteng seperti hewan ternak, para wanita-wanitamu tak berhak melahirkan, bayi tanpa ayah. Disini kami masih punya rasa, sebab kami adalah saudara.
Rohingya, sejak sejarahnya ditimbun oleh dinasti pemerintahan di Myanmar, kita senantiasa mendengar angin kesengsaraan dari wilayah "bertuan tapi tidak bertanah". Kikisan intimidasi mengeruk leher dan lambung para kaum Arakan ini.
Tak mesti kita berbicara lagi tentang kecaman dan penentangan. Lebih dari itu etnik Rohingya memerlukan identitas kemerdekaan berserikat, berpendapat, berkeyakinan sesuai agama yang dianut. Bukankah itu hak setiap warga negara di dunia ini untuk mendapatkannya?
Sejak pencabutan hak kemanusian oleh junta militer yang berkuasa tahun 1978, orang Rohingya terus menerus menderita akibat pencabulan hak kemanusiaan. Akibatnya, banyak yang melarikan diri ke berbagai negara tetangga.
Mosi tak percaya terhadap bekas jajahan Britania Raya ini, hilang seiring dengan "ketidakpedulian". Budaya kekerasan seakan menjadi makanan harian di Myanmar. Seperti tak ada lagi masa depan bagi manusia-manusia kapal. Nurani mereka tetap hidup walau jasad mereka dibakar, dibuang.
Demikian beberapa tragedi atas ketidakperikemanusiaan yang terjadi di Rohingya, kita tidak dapat melihat dari satu kacamata saja. Ternyata bukan sekedar soal tanah dan perbedaan agama, ataupun suku. Melainkan Iblis berkedok agama yang kelaparan.
Rohingya, sepertilah "Palestina Kecil". Dimana-mana ada yang merenggang nyawa. Airmata tak habis siang malam. Hanya karena keangkuhan penguasa, yang takut terhadap "sejarah". Padahal, kemenangan dalam sejarah itu ada korelasinya dengan kesabaran. Berbeda dengan Palestina di tanah Arab. Rohingya, tak pernah membalas dengan senjata. Kesabaranlah yang menjadi perisai mereka.
Banyak yang diperoleh dari makna kesabaran. Lihatlah kemampuan Bangsa Rohingya tak mengenal putus asanya dalam bertahan dalam kepungan penindasan. "Sesungguhnya Aku memberi balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang". (QS al Mukminuun : 111)
Ternyata Demokrasi Tak Ada Asasi
Myanmar sejak akhir 2015, banyak yang berharap bahwa perjuangan pahlawan demokrasi di negara itu, Nyonya Aung San Suu Kyi bisa menstabilisasikan keadaan negaranya. Alhasil, hingga kini, sekat ketegangan itu masih menjadi status darurat.
Jadi apa akar masalahnya? Rohingya masih menjadi wadah tembakan peluru-peluru ketidakadilan, hanya karena mereka tidak terdaftar dalam sensus penduduk negeri Myanmar.