Lihat ke Halaman Asli

Tutup Telegram, #BlokirJokowi

Diperbarui: 17 Juli 2017   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompas Tekno

Seperti hujan yang tak bisa awan menutupnya. Perumpamaan tersebutlah yang sedang terjadi di negara ini. Demokrasi telah membuka nilai transparansi. Demokrasi telah menciptakan seni bertanya dan menjawab yang disebut dengan keseimbangan triaspolitika. Ditambah dua lagi yakni media dan rakyat. Jadi, dengan bertambahnya fungsi keseimbangan itu, negara sebagai pengendali harus menjadi banyak mendengar dan melakukan.

Tak dipungkiri, media dan rakyat (nitizen) mempunyai saham besar dalam melakukan perubahan. Baik perubahan lewat legislatif, eksekutif maupun yudikatif ketika alat/tools itu tidak berjalan sesuai dengan tupoksinya.

Orde baru telah mendefinisikan  otoritarianisme  sehingga masyarakat membungkamnya dengan aksi heroik 1998. Orde lama, tak kalah penting, negara gagal dalam melindungi dasar sila negara, yakni Pancasila dan UUD 1945. Begitu arus perubahan reformasi menggeliat, tiga presiden melanjutkan estafeta, dinamika negara mengalami kurus gemuk. Sampai pada dua periodisasi SBY yang menghidupakn seni beladiri memukul tanpa berkelahi. Menggertak tanpa mencaci. Alam sepuluh tahunnya panas hujan tapi baik-baik saja. Gejolak tak begitu sedahsyat hari ini.

To day is...

Kita menyaksikan gumpalan kekecewaan dari masyarakat yang mengatasnamakan nitizen (kaum maya) begitu jelas. Kita menyaksikan ternyata kaum maya ini terbagi perang dalam dunianya.

Anasir benturan pro dan kontra dalam era maya ini sangatlah mengganggu tidurnya masyarakat. Masyarakat dihantui setan HOAX dimana-mana akibat propoganda.

Kaitan dengan itu, Martin Seligman, seorang psikolog pakar studi optimisme, memelopori revolusi dalam bidang psikologi melalui gerakan Psikologi Positif. Temuan baru ini mengarahkan perhatiannya pada sisi-positif manusia, mengembangkan potensi-potensi kekuatan dan kebajikan sehingga membuahkan kebahagiaan yang autentik dan berkelanjutan. Itulah hakikat kebahagian. Bukankah kebahagian yang kita cari?

Namun, hari ini tidaklah sesuai harapan sainstik Martin itu. Manusia telah terpenjara oleh gerakan negatifnya. Sehingga jiwanya yang awalnya halus menjadi kasar. Sikapnya yang tata krama menjadi karma.

Temuan itu terbukti dalam setengah periode Pak Jokowi, sang presiden legenda ini. Kebijakannya lewat kemenkoinfo dalam menutup salah satu media sosial yakni Telegram menjadi momok menakutkan

Kenapa demikian? Sederhana saja, alasan pemerintah menutupnya karena guna menekan lajunya radikalisme dan terorisme di Negeri ini. Lain halnya dengan nitizen, mereka mengklaim bahwa kebijakan itu adalah upaya memenjarakan sikap kebebasan berpendapat, yang telah dilindungi undang-undang. Bahkan ancaman pemerintah sebegitu serius, bukan hanya Telegram saja, Facebook, dan Youtube menjadi sasaran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline