Lihat ke Halaman Asli

Menyulam Indonesia

Diperbarui: 14 Juni 2017   14:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dagelan.co

Kita dilahirkan dari rahim ibu pertiwi adalah takdir. Bukan pilihan. Hal tersebut juga merupakan sebuah anugerah terbesar. Sebab, Indonesia adalah negara makmur, tanahnya subur dan hijau alamnya. 

Sejak kecil, Indonesia telah mengajari anak-anak bangsanya untuk hidup saling gotong royong, bukan gontok-gontokkan. Menjaga etika bukan saling mengundi kejelekan orang lain. Mencintai sesama bukan memata-matai dengan kebencian.
Indonesia adalah sepenggal Firdaus di muka bumi, bahwa negara ini bisa menjadi pewaris dunia di masa yang akan datang. Kepercayaan diri ini bukanlah terlahir atas kesemuan, melainkan sudah menjadi hasil tesis oleh para sejarawan dan peneliti. Hal tersebut telah termuat dalam buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found oleh Prof. Arysio Nunes do Santos. 

Kabar gembira tersebut menjadi sumber kekuatan. Maka, sudah saatnya segala potensi anak-anak bangsa harus diarahkan untuk menjadikan "kabar gembira" itu sebagai suatu kenyataan hari esok. Bukankah, Hasan Al Banna juga telah mengatakan bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin. Dan kenyataan hari esok, adalah mimpi hari ini".

Lalu, tetiba hatiku terguncang. Ternyata anugerah Negeri Khatulistiwa ini juga bisa membawa petaka. Dimulai dari ketidakserasiaan hidup. Pelajaran Kewarganegaraan, yang menjadi dasar harmoni kehidupan dimasa kecilku, pudar.  

Saksikanlah, Indonesia saat ini. Masyarakat Indonesia telah hilang cita-citanya. Disana-sini saling mempersoalkan kesejahteraan dan ketertinggalan. Di kota-kota besar, ruang kapitalisme mengakar kuat, di desa-desa kekuatan saling meniadakan muncul. Sehingga, anak-anak yang dilahirkan era generasi-Z kehilangan teladan. 

Teladan tokoh dalam buku-buku biografi dikalahkan artis-artis sinetron dan politisi yang seenaknya berargumen tanpa menjaga kehati-hatian lisannya. Akhirnya, Indonesia sebagai negeri aman, nyaman dan damai terkotori. 

Belum lagi, masyarakat sering diadu dalam kubu-kubuan demi kepentingan kelompok tertentu. Hal semacam ini, muncul biasanya dalam pesta demokrasi yang berupa pemilihan kepala negara, kepala daerah maupun anggota parlemen. Bahkan merambah hingga ke pemiliihan ketua RT.  

Memang tak mudah menyatukan Indonesia. Seperti pekerjaan para penyulam, menambal robekan kain sana-sini. Kadang tangan penyulam yang terkena jarum sulaman; berdarah. Tetapi, itulah pekerjaan penyulam. Menghargai proses, mengindahkan hasil dan memuaskan pelanggan.  Jika kita telaah secara saksama sila ketiga Pancasila. Ada sebuah pertanyaan yang muncul dalam benak. Mengapa hanya sila ketiga Pancasila yang konfiksnya menggunakan per- dan --an pada kata pertama dalam setiap sila. Sementara lainnya tidak. 

Jika kita telaah secara ilmiah dalam kaidah Morfologi Bahasa Indonesia. Bahwa imbuhan per-  dan --an mengandung arti "sebuah proses menjadi". Sehingga bila disambungkan dengan kata dasar "satu" menjadi persatuan. Lagipun, dapat diartikan bahwa makna persatuan yang tertuang dalam sila ketiga itu merupakan sebuah hal yang tidak gampang dilakukan. Bilamana ingin melakukan, maka diharuskan ada upaya sungguh-sungguh untuk melakukannya. Bukan hanya sekedar retoris, melainkan aplikasian secara nyata.   Bahwa upaya persatuan Indonesia, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Kita harus menyadari, Indonesia sangat begitu ragam latar belakang masyarakat dan budayanya. 

Dalam sebuah pepatah dikatakan Indonesia, lain bubu, lain ikannya. Maka, diperlukan bubu-bubu yang kokoh dan tegar untuk menjinakkan ikan-ikan didalamnya. Senada dengan ini, sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai ketuhanan, juga harus menyadari bahwa Indonesia selain telah dikarunia rahmat sumber daya  alam yang kaya, keberagaman manusia pun menjadi anugerah tersendiri.  Indonesia telah memberikan teladan bagi dunia. Bahwa Indonesia selain menjadi bangsa hijau ladang dan biru lautannya, Indonesia adalah negara sosial masyarakat yang hadir untuk memberikan dua perkawinan saling menguntungkan. Untung alam, maju orangnya.  

Pengaruniaan tersebut telah disampaikan oleh Allah SWT dalam firmanNya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal". Ayat tersebut, sungguh naif bilamana, manusia-manusia Indonesia saling berbenturan satu sama lain. Kita juga dapat mengambil hikmah dari isi surat ke-49 itu bahwa rukun pertama untuk saling menguatkan dalam perbedaan adalah dengan saling kenal-mengenal (ta'aruf). Saling kenal-mengenal akan menjadikan kita sebagai manusia hati. Bilamana manusia telah dikenal hatinya, maka yang terucap dibibirnya hanyalah cinta dan kebahagiaan. Tanpa saling mengenal satu sama lain, akan menghadirkan konflik-konflik kecil yang sewaktu-waktu akan menggelinding bagaikan bola salju, pada akhirnya taman Indonesia yang elok ini akan tak terurai dan mati.  Kita telah terlanjur percaya dan yakin bahwa Indonesia adalah bangsa besar. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline