Lihat ke Halaman Asli

Luka Pendidikanku

Diperbarui: 14 Agustus 2016   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

FOTO WALI KELAS DAN SISWA SMP IT ASSALAM AMBON

Resah hatiku tak lagi melihat keagungan seperti apa yang dulu aku lihat. Perlahan ku cari,  menepi sedikit untuk mensyarahkan secara detail tentang apa yang menjadi catatan merah tersebut. Sembari aku memutar MP3-ku lalu kuklikan: Hyme Guru. Syair lagu ini, benar menghipnotis alam bawah sadarku dan teman-teman sewaktu di bangku sekolah dasar dulu.

Pastinya di jam pelajaran Kesenian, kami selalu diminta menampilkan satu lagu wajib dan satu lagu pilihan untuk dinilai oleh guru kami. Tentunya, lagu wajib pastilah Indonesia Raya. Sementara yang menakjubkan, semua lagu pilihan yang dipilih oleh semua teman-temanku adalah lagu yang judulnya kusebutkan pada kalimat ketiga. Setiap kami menyanyikan lagu tersebut, ada airmata yang tumpah-ruah dalam kelas. Kelas selalu hening dan hati kami selalu menjiwai setiap nada dan rima liriknya. Guru kami di depan hanya  bernafas pelan, sambil menundukan wajahnya. Kami tau, guru kami sedang menyeka pula airmata harunya.

Hal tersebut tentunya sudah sangat lama, dan mungkin hanya menjadi kenangan zaman di masa kecilku. Setidaknya, harapan menjadi seorang guru tidaklah memudarkan semangat yang berbeda kelezatan zamannya. Setidaknya, walaupun kami dibesarkan di ruang-ruang terbatas kala itu, doa dan optimisme kami untuk berkembang tak bisa diputus begitu saja oleh keterbatasan. Padahal, kami pun tak tau, kapan cita-cita itu dikabulkan Tuhan. Seiring dengan waktu, model rasa pergaulan berubah, berubalah karakter manusia desa menjadi manusia kota. Hal tersebut berimplikasi pada tatanan lembaga pencipta generasi emas.

Karakter yang menjadi asbab kehalusan sopan dalam etika pergaulan menjadi keanarkisan deharmonis. Akibatnya, perkara hormat pada yang tua, cintai sesama hanya menjadi catatan tak bertuah nasehat. Mempunyai siswa yang berkarakter cerdas dan berbudi adalah dambaan tujuan pendidikan.

Kegalauan pendidik dan sekolah akan kasus-kasus negatif pada peserta didik akhir ini merupakan tantangan berat yang harus bisa dicarikan solusi. Perbaikan karakter adalah hard choice.Tidak boleh ada standar ganda. Olehnya itu, hard choice tersebut bisa menjadi  sumber energi baru yang dibutuhkan setiap manusia dalam hidup, dipastikan  pohon kecil guna menghasilkan buah-buah segar dalam menjawab visi misi pendidikan yang termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003.  

Berbagai fakta tentang keregangan antara pendidik dan peserta didik seperti kasus siswa dicubit, guru dipenjara, kemudian guru menegur siswa, orang tua memukul guru dan masih banyak lagi fakta yang terjadi. Hal tersebut menunjukan bahwa pendidikan di negara ini belum mampu menjadikan tumpuan perbaikan karakter sebagai tujuan utama perbaikan anak bangsa.

Pendidikan Nasional masih berorientasi pada aspek kognitif guna melihat nilai tertinggi peserta didik. Sisi lain Psikomotor dan Afektif tak ada catatan khusus. Tentunya, kita masih ingat kisah bangsa Tiongkok Kuno, yang mudah rapuh oleh kasus suap di bawah bayang-bayang kekokohan benteng raksasa: Great Wall. Kisah tersebut memberikan arti sebauh hikmah bahwa adanya sebuah karakter yang digadaikan sehingga melupakan visi peradaban.  Olehnya itu, makna luka pendidikan ini kusempurnakan dengan rangkaian bait satu rindu di bawah ini:

Bait Satu Rindu, Kepadamu Guru

Di atas atap rumahku

hujan masih jadi takdir, hari ini

Langit nampak menghampar hitam gelap

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline