Lihat ke Halaman Asli

M. Nasir

Pegiat Lingkungan Hidup

Bulan "Ber" dan Penyebab Banjir di Aceh

Diperbarui: 26 November 2023   08:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kondisi banjir bandang di Kabupaten Aceh Tenggara/dokpri

Bulan "ber" sebuah istilah untuk menyebutkan bulan September, Oktober, November, dan Desember. Kenapa dengan empat bulan itu?

Sebagian kalangan kami di Aceh, begitu memasuki bulan ber siap-siap dengan datangnya bencana banjir. Karena di empat bulan tersebut terjadi curah hujan yang tinggi. Sudah menjadi "langganan" di beberapa daerah di Aceh, pada bulan tersebut terjadi banjir bandang. Kondisi ini berlaku untuk sebagian besar wilayah di Aceh.

Di sisi lain, bulan ber menjadi jadwal musim tanam di kalangan masyarakat Aceh sebagai penopang ekonomi melalui komoditas pertanian dan perkebunan. Benarkah bulan ber menjadi faktor penyebab banjir di Aceh? Atau ada faktor lain yang menjadi pemicu terjadi banjir di Aceh.

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat kondisi lingkungan di Aceh. Kami dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh berpendapat bahwa banjir yang melanda Aceh dalam beberapa pekan terakhir ini membuktikan bahwa kerusakan tutupan hutan semakin parah dan kritis. Baik itu akibat penebangan liar, perkebunan sawit hingga pembukaan jalan baru, seperti pembangunan jalan tembus dari Jambur Latong, Kutacane sampai perbatasan Sumatera Utara.

WALHI Aceh menilai, kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutan masif. Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya.

Selain itu, WALHI Aceh juga menilai pemicu banjir juga akibat adanya pembukaan jalan baru yang dapat memicu illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya. Dengan adanya jalan tersebut para perambah hutan semakin mudah untuk mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu.

Banjir menjadi persoalan klasik sekarang, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan, padahal kejadian setiap akhir tahun selalu kejadian, pemerintah terkesan macam tidak peduli, padahal bisa berkaca pengalaman setiap tahunnya.

Contohnya kehilangan tutupan hutan di Aceh Tenggara. Mengingat dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, 92 persen masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi. Berdasarkan SK 580 total luas wilayah Aceh 414.664 hektar, 380.457 hektare di antaranya adalah KEL.

Wajar banjir terus terjadi di Aceh selama ini setiap curah hujan tinggi. Karena kerusakan hutan, khususnya yang masuk dalam KEL terus terjadi. Hutan alam terus ditebang, sehingga mengakibatkan daya dukung tanah menurun, sehingga terjadilah berbagai bencana ekologi.

Padahal KEL merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara, serta lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orangutan sumatra dalam satu area.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline