Banyak drama unik dan menarik selama gelaran kampanye calon kepala daerah 2024, mulai kegaduhan debat calon kepala daerah, janji kampanye yang tidak masuk akal, sampai eksploitasi emosi masyarakat pendukungnya melalui pemanfaatan isu golongan dan SARA. Fenomena ini memperlihatkan bahwa pada dasarnya banyak calon kepala daerah tanpa visi dan misi politik yang jelas. Mereka tidak memiliki konsep membangun dan berkontribusi bagi kemajuan daerah yang diharapkan akan bersedia mereka pimpin.
Padahal visi politik itulah yang seharusnya dikontestasikan dalam pemilihan umum. Kampanye merupakan upaya memperkenalkan serta mensosialisasikan visi dan misi tersebut kepada masyarakat. Selanjutnya masyarakat sendirilah yang menentukan visi dan misi mana yang sesuai dengan harapan mereka.
Satu-satunya visi misi yang diusung oleh kebanyakan pasangan calon kepala daerah hanyalah misi kekuasaan. Yang penting bisa berkuasa, itulah yang selama ini menjadi satu-satunya tujuan kontestasi politik pada kebanyakan daerah di negeri ini. Di antara tanda-tanda calon pemimpin politik yang hanya mengusung visi misi berkuasa adalah sebagai berikut.
1. Modal Popularitas
Yang paling lazim terjadi sejak reformasi adalah banyak partai politik atau aliansi partai politik yang lebih mengandalkan ketokohan dan popularitas seseorang. Banyak partai yang mengusung para pesohor, dari kalangan artis, tokoh agama atau tokoh masyarakat sebagai cara menarik simpati publik, meski sebenarnya yang bersangkutan tidak memiliki visi misi apapun berkenaan dengan membangun dan memajukan daerahnya.
Popularitas menjadi alat untuk meraup dukungan publik agar melegalkan pasangan calon kepala daerah menjadi penguasa. Tanpa visi dan misi membangun yang jelas, dapat dipahami bila yang mereka lakukan setelah berkuasa hanyalah berbagi kekuasaan dan tentu saja uang kepada para kolega yang telah mengantarkan mereka berkuasa, sementara masyarakat pendukung hanya mendapatkan hiburan sesaat dengan kemenangan sang idola.
2. Branding dan Debranding
Tidak jelasnya visi misi politik yang diusung atau orientasi kontestasi politik yang hanya berorientasi kekuasaan menjadikan mereka tidak mampu mengkontestasikan konsep dan strategi pembangunan. Yang mereka lakukan hanya membranding ketokohan seseorang dengan berbagai predikat yang sebagian besar semu dan menipu demi meraih simpati, atau menjatuhkan pihak lain dengan segala cara.
Tidak mengherankan bila dalam kontestasi pemilu di negeri ini banyak diwarnai dengan branding tokoh yang sebelumnya tidak memiliki nilai sosial politik apapun menjadi tokoh baru meski tanpa rekam jejak yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang paling layak diacungi jempol adalah para influencer dan tim kampanye yang sering kai mampu mengubah seseorang yang tidak begitu dikenal tiba-tiba menjadi sosok yang layak diidolakan, meski Pilkada lebih sering berasa memilih kucing dalam karung. Masyarakat hanya diberi pilihan tokoh besar karena baliho, leaflet dan narasi-narasi, tanpa jelas visi misinya, kemampuan kerjanya, apalagi integritasnya.
3. Isu SARA dan Golongan
Tidak asing lagi, calon-calon pemimpin yang hanya bervisi kekuasaan banyak menjual diri dan.atau mendiskreditkan calon lain dengan memanfaatkan isu sara dan golongan. Mereka tidak menawarkan konsep membangun, memajukan ataupun mensejahterakan daerahnya melainkan sekedar ingin berkuasa dengan segala cara, sekalipun harus merusak harmoni masyarakat.