Kian hari kasus guru supriani semakin terang-benderang memperlihatkan kesewenang-wenangan aparat terhadap masyarakat lemah. Kasus ini bermula dari arogansi wali murid yang nota bene keluarga polisi yang dengan semena-mena dan tanpa bukti mengkambinghitamkan guru honorer atas kecelakaan kecil yang menimpa anaknya.
Entah apa yang ada dalam pikiran sang oknum polisi, sehingga begitu ngotot memaksa guru honorer yang buta hukum mengakui kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Memaksa guru Supriani mengaku bersalah dan mengundurkan diri sebagai guru memperlihatkan tingginya sikap jumawa sang aparat keamanan seolah bisa berbuat apa saja terhadap warga tak berdaya.
Memang bukan isapan jempol, sang oknum aparat hampir saja mampu membuktikan, bahwa dia mampu memenjarakan seorang tanpa harus benar-benar bersalah. Kuatnya dukungan lingkungan kerja dan teman-teman seprofesi sang oknum aparat dimanfaatkan untuk memuaskan nafsu angkaranya, mengantarkan sang guru honorer ke meja pengadilan melalui tuntutan hukum yang sarat rekaya.
Hasilnya, guru Supriani bukan hanya terancam kehilangan masa depannya sebagai guru seperti yang dia tuntut sebelumnya, melainkan dihadapkan pada pilihan sulit, yaitu masuk penjara atau berdamai dengan membayar puluhan juta. Guru Supriani yang tidak berdaya dan tidak punya apa-apa, nyaris saja harus bersiap menerima pilihan pertama, tapi Tuhan rupanya punya rencana berbeda.
Viralnya kasus keangkaramurkaan ini membuat masalah tuduhan pemukulan dengan sapu ijuk berkembang jauh lebih rumit lagi. Berbagai fakta yang menunjukkan kasus ini sarat rekayasa membuyarkan rencana para oknum aparat, bahkan mengancam masa depan karier para oknum aparat itu sendiri.
Tersebarnya informasi soal uang 2 juta yang sudah disetorkan serta permintaan uang damai 50 juta plus 15 juta membalik arah skenario yang dirancang para oknum ini sebelumnya. Secara kasat mata siapapun pasti menyimpulkan, bahwa kasus ini bukan soal penganiayaan, melainkan pemerasan dan sama sekali bukan sekedar pungli.
Kenyataan ini tentu menjadi ancaman besar bagi reputasi institusi Polri yang bersusah payah memperbaiki citranya. Imbasnya kasus ini sudah pasti membuat banyak pimpinan digeser, diganti bahkan terkena sanksi. Para oknum yang terlibat pasti pucat pasi menghadapi segala konsekwensi kejahatan yang mereka buat sendiri.
Itu sebabnya para oknum yang terlibat buru-buru cuci tangan menjelang persidangan di pengadilan. Ada oknum yang berusaha mendikte kepala desa agar mengubah jalan cerita, sementara sang oknum pemicu masalah yang sebelumnya menolak berdamai justeru mengemis pada guru Supriani agar bersedia berdamai sebelum sidang dimulai.
Kabar baiknya, guru Supriani semakin pintar dengan menolak berdamai. Tekanan demi tekanan dalam permainan kotor para oknum aparat dan dukungan dari para kolega guru telah menguatkan mental guru Supriani meski belum sepenuhnya bernyali. Turun tangannya sang bupati nyaris saja membuat Supriani menyerah dan membiarkan orang-orang yang mendzaliminya melenggang bebas begitu saja, karena solusi damai sang Bupati tidak lebih dari upaya menyelamatkan aparat nakal ini dari keharusan menanggung konsekwensi.
Tekanan publik yang semakin tak terbendung, adanya fakta-fakta baru soal rekayasa dan motif pemerasan yang sulit disangkal membuat guru Supriani dapat bernafas lega oleh putusan penangguhan penahanan. Di pihak lain, para oknum yang yang merekayasa kasusnya susah tidur menantikan apa yang akan terjadi, sebab andaikata institusi Polri benar-benar serius menangani, para oknum aparat ini sanga pantas melepas seragamnya, meski mustahil itu terjadi.
Mendapat penangguhan penahanan tidak berarti drama yang dihadapi guru Supriani selesai. Secara bertubi-tubi, guru Supriani yang awalnya hanya berhadapan dengan arogansi wali murid yang seorang polisi, tanpa diduga harus berhadapan dengan kesewenang-wenangan segerombolan oknum aparat. Kini, guru Supriani harus kembali berhadapan dengan kesewenang-wenangan kepala daerahnya sendiri yang melayangkan somasi atas tuduhan pencemaran nama baik.