Lihat ke Halaman Asli

Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah

Diperbarui: 5 Juni 2024   09:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selain polemik nasab yang memperhadapkan Kyai Imaduddin vs kaum Baalwi, media sosial secara hampir bersamaan sebenarnya juga diramaikan oleh polemik dukun palsu, yang memperhadapkan Marcel si Pesulap Merah vs para dukun dan praktisi spiritual. Kedua polemik tersebut sama-sama berlangsung panas yang menarik sebagian masyarakat untuk mendukung yang satu dan menentang yang lain. 

Meski tidak sepanas polemik nasab dan dukun palsu, di masyarakat kita sebenarnya juga terjadi berbagai polemik serupa, semisal polemik bumi datar dan cocoklogi sains dan agama oleh Sebagian penceramah, yang secara umum memperlihatkan adanya pertarungan antara penganut paradigma berfikir akal sehat dan paradigma akal-akalan.  

Akal Sehat vs Akal-akalan

Digunakannya istilah akal sehat kali ini tentu bukanlah terjemahan common sense yang biasa digunakan dalam filsafat ilmu, melainkan sekedar penyederhanaan untuk menyebut mereka yang lebih mempercayai penjelasan ilmiah atau scientific, yang mana setiap pengetahuan harus didasarkan atas kajian ilmiah yang didukung oleh data-data yang terverifikasi dan diuji baik dari segi data maupun metodologi. 

Di sisi lain, istilah akal-akalan ditujukan bagi mereka yang berupaya membuat sebuah pengetahuan disetujui dan diterima oleh orang lain hanya dengan "akal-akalan", yang mengandalkan kekuatan narasi dan framing yang menyentuh emosi. Paradigma akal-akalan tidak membutuhkan data-data yang terverifikasi, yang itu sebabnya resisten terhadap tes dan mudah runtuh oleh pengujian secara kritis.

Kyai Imaduddin dan Pesulap Merah dapat dikatakan mewakili mereka yang memilih mengedepankan akal sehat. Melalui bukti materiil berupa data-data manuskrip yang terverifikasi dan analisis yang sistematis, terperinci dan secara metodologis terbuka untuk diuji, tesis Kyai Imaduddin berhasil mendekonstruksi klaim kaum Baalwi sebagai keturunan (dzuriyyah) nabi. 

Kyai Imaduddin masih membuka peluang nasab Baalwi agar dapat dinyatakan tersambung pada nabi bila mereka mampu menjawab 13 pertanyaan, yang artinya mengharuskan adanya bukti materiil berupa data-data manuskrip yang terverifikasi.

Tesis Kyai Imaduddin spontan memancing amarah para tokoh Baalwi dan simpatisannya. Meski demikian kaum Baalwi semula berusaha meladeni perdebatan, tetapi minimnya dukungan data manuskrip yang terverifikasi membuat sanggahan Rumail Abbas begitu mudah dipatahkan. 

Minimnya kompetensi di bidang kajian nasab menjadikan sanggahan Wafi, Idrus Romli, Fakhrur Rozi hingga sang Rois Aam PBNU hanya menampakkan besarnya simpati dibanding evidensi ilmiah. Tokoh Baalwi, seperti Hanif Alatas, yang berupaya menjawab tesis melalui tulisan juga sama sekali tidak menjawab 13 pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan data yang terverifikasi dan hanya memframing Kyai Imaduddin sebagai pihak yang tidak berhak, tidak layak dan tidak dapat diterima hasil kajiannya, bahkan dianggap sebagai ahli bidah yang sesat.

Pembuktian keaslian nasab mereka semakin sulit dilakukan setelah sebagian tokoh Baalwi yang sudah melakukan tes DNA terkonfirmasi ber-haplo group G, yang berarti bukan dzuriyyah Bani Hasyim, klan nabi saw. Meski demikian, hal ini tidak membuat perdebatan terhenti, bahkan semakin keras dengan beragam narasi di luar konteks kajian yang diperdebatkan. 

Meski tidak pernah mengistbat, penghormatan para tokoh dan ulama terhadap kaum Baalwi diandalkan sebagai pijakan eksistensi mereka yang disertai beragam tuduhan terhadap Kyai Imaduddin dan mereka yang sepaham sebagai pemecah-belah, Khawarij, Wahabi, Syi'ah dengan berbagai ancaman laknat, caci maki hingga ancaman organisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline